JAKARTA, (Panjimas.com) – Tak salah bermimpi. Sepanjang mimpi itu baik dan bertujuan baik. Mimpi itulah yang mengantarkan Vera Yuana berhasil menulis novel “Senandung Sabai” (Cinta dan Luka) dan terbit tahun ini.
Vera mengakui bahwa novel “Senandung Sabai” merupakan karya perdananya yang akan selalu dianggap spesial, karena lahir dari sebuah mimpi kecil dan sederhana yang ia bangun beberapa tahun silam.
“Saya berkeinginan memiliki buku yang saya tulis sendiri dan dibaca banyak orang. Keinginan itu selalu saya katakan pada diri sendiri tanpa henti. Awalnya saya ingin menulis buku nonfiksi berupa kisah-kisah inspiratif, tapi justru berubah haluan menjadi novel,” kata Vera Yuana di Jakarta, Kamis (26/11).
Diakui Vera, novel “Senandung Sabai” merupakan novel sederhana dengan bahasa sederhana. Novel ini berlatar Ranah Minang karena setting cerita diambil di Kota Padang.
Menurutnya, Kota Padang sangat jarang dijadikan setting cerita dari penulis-penulis terkenal saat ini. Itu pula yang melatarbelakanginya untuk mewujudkannya.
“Sumatera Barat khususnya Kota Padang juga layak kok untuk diangkat menjadi latar sebuah cerita,” kata Vera.
Kecintaannya kepada Ranah Minang diwujudkannya dalam cerita “Senandung Sabai”. Dalam novel itu, Vera ingin memperkenalkan budaya baralek (pesta perkawinan) dan mengangkat kembali hikayat/cerita masyarakat minang “Sabai Nan Aluih” yang mungkin sudah sedikit terlupakan oleh generasi muda. Kisah yang disampaikannya dalam bentuk dialog antara ayah dan anak. Karena itu, kata Sabai sengaja diangkat sebagai judul utama dari novel ini.
Wanita berdarah Minang yang pernah menjadi Kepala Personalia merangkap Sekretaris Direksi di Harian Umum Mimbar Minang ini menceritakan kalau ia mulai mencintai tulis menulis sejak berkecimpung di surat kabar dan bergaul dengan para jurnalis. Ia merasa beruntung, lebih mengenali bakat kecilnya ini sejak di sana.
Meski tidak bisa dipungkiri kalau ketika remaja ia suka sekali menulis di buku diary tentang apa saja. Namun sayang, buku diary itu justru tak diketahui lagi keberadaannya.
“Padahal bisa saja dibukukan dalam kemasan berbeda,” lanjutnya sembari tertawa.
Novel “Senandung Sabai” bercerita tentang kisah perjalanan seorang perempuan Minang bernama Reana Sabai. Kisah yang tidak selalu manis. Ada cinta dan luka. Cinta dan luka dalam pengertian tak terbatas. Berbagai cobaan seakan tak berhenti menghujaninya mulai dari saat ia harus kehilangan sang ayah, persoalan pilihan hidup termasuk persoalan percintaan.
Yang menarik dari cerita ini justru konflik atau dendam masa lalu yang mengagetkan. Penulis sepertinya ingin menggambarkan tentang kekuatan seorang wanita yang seharusnya dimiliki perempuan-perempuan Minang.
Menurut rencana, novel ini akan diluncurkan dalam acara bedah buku dan talkshow kepenulisan di salah satu kampus terkemuka di Kota Padang. Bedah buku tersebut diprakarsai Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia Wilayah Sumatera Barat bekerja sama dengan FAM Unit Kampus UNP.