SOLO, (Panjimas.com) – “Intelektual Muda, Tegakkan Khilafah! Selamatkan Intelektual Muda dari Cengkeraman Neokolonialis-Feminis” adalah tema yang diusung pada Seminar Mahasiswi Islam untuk Peradaban (SMIP), Ahad (2510/2015) di Gedung Pusdiklat UNS.
Acara yang diselenggarakan oleh Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (MHTI) DPD II HTI Kota Surakarta ini merupakan rangkaian dari Kongres Mahasiswi Islam untuk Peradaban (KMIP) yang digelar di 26 kota dari berbagai provinsi di Indonesia. Tak kurang dari 150 peserta yang hadir berasal dari berbagai kampus di wilayah Surakarta, diantaranya adalah mahasiswi Islam dari IAIN Surakarta, UNS, UMS, ISI, Univet Bantara Sukoharjo, Politama, dll.
Laila Romadhoni dan Hani Oktibi selaku MC mengawali acara dengan mengajak peserta mendengarkan tilawah al-Qur’an, dilanjutkan dengan Keynote Speech oleh Dra. Makmuroch, MS (Dosen FK UNS). Dalam pidatonya, beliau mengingatkan peserta seminar agar tidak terjebak oleh Neokolonialis-Feminis, dan mengajak peserta yang notabene mahasiswi Islam untuk berproses menjadi intelektual muda tanpa meninggalkan kodratnya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga yang nantinya akan melahirkan generasi penerus berkualitas, pemimpin masa depan. Video testimoni dari Intelektual Muslimah berbagai negara pun turut mengawali acara ini. Kemudian dilanjutkan dengan video sambutan dari MAh Muslimah HTI, Ir. Ratu Erma Rahmayanti.
Pada acara inti, Wiwit Rahayu, SP, Mp (Dosen F. Pertanian UNS) selaku pemateri pertama menyampaikan gambaran kondisi intelektual muda saat ini yang memiliki cara berpikir pragmatis dan larut dalam desain pemberdayaan intelektual muda ala neokolonialis-feminis. Atas nama kemajuan ekonomi, neokolonialis-feminis telah menyandera potensi intelektual muslimah yang dipekerjakan, diperas habis potensi intelektualitasnya dan didorong untuk meninggalkan fitrahnya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Dengan menerapkan kebijakan ala neokolonialis-feminis sesungguhnya negara ini menghadapkan intelektual mudanya pada 3 bahaya besar, yaitu (1) ancaman disorientasi perannya sebagai ibu generasi bangsa; (2) eksploitasi ilmu dan keahliannya untuk kepentingan industri kapitalistik; dan (3) terwujudnya profil intelektual muda pengokoh penjajahan kapitalis.
Sedangkan pemateri kedua, Nawang Ratri Anggraini (Ketua MHTI DPD II HTI Kota Surakarta) menyampaikan khilafah Islam-lah yang mampu mencetak intelektual muda pembangun peradaban cemerlang. Dalam Islam, tanggung jawab negara terhadap pendidikan bukan hanya dari sisi pembiayaan tetapi juga memastikan bahwa tujuan pendidikan tercapai, yaitu mencetak generasi muslim yang berkepribadian Islam dengan berlandaskan aqidah Islam. Perempuan tidak punya kewajiban mencari nafkah karena tugas utamanya adalah menjadi ibu dan pengatur rumah tangga.
Ibu mempunyai peran besar untuk mencetak putra putrinya menjadi generasi pemimpin masa depan, pembangun peradaban Islam yang cemerlang. Oleh karena itu para intelektual saat ini hendaknya terjun langsung dalam perjuangan politik Islam dengan mendekonstruksi sistem demokrasi kapitalis yang melahirkan neokolonialis-feminis dan menggalang kekuatan untuk menyeru diterapkannya Ideologi Islam dalam naungan Khilafah.
Antusiasme peserta tampak pada sesi diskusi, pertanyaan diantaranya disampaikan oleh Nurul Hidayati (mahasiswi UNS) dan Ikrimah (alumni UMJ) mengenai biaya pendidikan yang kini mahal hingga seringkali dituntut harus bekerja setelah lulus kuliah serta dilema bagi ibu yang memutuskan untuk bekerja dan melanjutkan menuntut ilmu di jenjang yang lebih tinggi. Menanggapi pertanyaan tersebut, kedua pemateri menyampaikan bahwa sesungguhnya Islam tidak melarang perempuan bekerja, tetapi Islam juga tidak mengharuskan seorang perempuan bekerja. Bekerja bagi perempuan adalah pilihan.
Dilema yang terjadi karena saat ini diterapkan sistem kapitalis-sekuler dimana negara tidak memberi jaminan dan abai terhadap kebutuhan rakyatnya hingga tiap individu dituntut untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Oleh karena itu, sudah saatnya sistem kapitalis-sekuler yang melahirkan neoliberalis-feminis dicampakkan dan sistem Islam diterapkan, intelektual muda harus mengambil peran sebagai agen perubahan. Intelektual muda, tegakkan khilafah! Allahu akbar!