PANJIMAS.COM – Chori chori chupke chupke, sudah tak asing lagi dengan judul film india ini. Banyak para penggemar film yang mengenal tokoh-tokoh yang bembintangi serial film tersebut. Pretty Zinta, Rani Mukrezi, dan Salman Khan yang menjadi aktor utama serial film Bolywood itu.
Film yang terbilang lama durasinya itu menggambarkan kisah cinta yang begitu tulus dari seorang istri terhadap suaminya. Merelakan suaminya memiliki anak dari orang lain lantaran ia tidak mampu untuk mempunyai anak lagi.
Ia rela segala haknya tertukar lantaran memperoleh keturunan. Meminta suami untuk memiliki anak dari rahim wanita lain, meskipun dari rahim seorang pelacur.
Cinta yang begitu besar ia tunjukan untuk membahagiakan suami dan keluarga besarnya. Segala cara akan ia tempuh, walau harus berbohong kepada semuanya bahwa ia bisa memiliki keturanan lagi.
Jalan cerita film india ini sungguh menyentuh hati setiap orang yang menontonnya. Tapi di balik itu, ada racun berbahaya, yakni memberikan contoh kepada khalayak bahwa kebolehannya seorang istri memberikan perintah kepada suami untuk berzina kepada wanita lain demi memperoleh keturunan.
Bagaimana pandangan Islam dalam menyikapinya?
Dalam Islam permasalahan tersebut sudah memiliki peraturan tersendiri. Konsep yang begitu mulia, dan mencapai solusi dalam kebutuhan rumah tangga yakni bernama Ta’addud (poligami).
Allah Ta’ala bersabda:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَىَ فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُمْ مّنَ النّسَآءِ مَثْنَىَ وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَىَ أَلاّ تَعُولُواْ
“Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita lain yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” [QS. An-Nisaa’ : 3].
Poligami merupakan solusi mulia lagi bermatabat dalam memelihara nasab keturunan. Hal ini diperbolehkan, apalagi melihat kondisi sang istri yang udzur karena menderita sakit atau mandul.
Syaikh Muhammad Amin Asy Syinqithi berkata tentang ayat di atas,
فالقرآن أباح تعدد الزوجات لمصلحة المرأة في عدم حرمانها من الزواج ولمصلحة الرجل بعدم تعطّل منافعه في حال قيام العذر بالمرأة الواحدة ولمصلحة الأمة ليكثر عددها فيمكنها مقاومة عدوها لتكون كلمة الله هي العليا
“Al Qur`an menghalalkan poligami untuk kemaslahatan wanita agar mendapatkan suami, dan kemaslahatan lelaki agar tidak terbuang kemanfaatannya, ketika seorang wanita dalam keadaan udzur, serta (untuk) kemaslahatan ummat agar menjadi banyak jumlahnya, lalu dapat menghadapi musuh-musuhnya demi menegakkan kalimatullah agar tetap tinggi. [Dinukil dari Jami’ Ahkamun-Nisaa` (3/446)].
Ketika sebuah kasus pernikahan seperti di atas; tak memiliki keturunan, mandul atau udzur lainnya, layaknya seorang istri memberikan solusi mulia kepada suami merelakan ia untuk berbagi kemuliaan kepada wanita lain untuk menyempurnakan sebagian agamanya dengan menikah lagi, dengan tujuan memiliki keturunan yang jelas akan nasab dari sang anak yang akan dilahirkannya kelak.
Bukan memberikan solusi yang menjermuskan suami kedalam kemaksiatan, yakni perzinahan. Saat seorang Istri tertimpa sebuah penyakit kronis yang tidak memungkinkan untuk menjalani kehidupan alamiahnya bersamanya. Tidak dapat memberikan keturunan untuk suaminya, dalam hal ini istri mengikhlaskan orang yang dicintainya itu menikah lagi. Bukan berzina seperti cerita cinta di atas.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” [Al-Israa’: 32]
Suami pun mempunyai hak dan pilihan terhadap diri istrinya tersebut yakni memadunya atau menceraikannya, dan yang disebut terakhir ini tidak mencerminkan kesetiaan bagi pergaulan yang panjang. Tetapi ketika cinta begitu dalam terhadap istri ia tidak akan mengambil langkah perceraian, hanya saja memadu lebih utama dari segalanya.
Begitu pula istri mandul, yang tidak dapat melahirkan keturunan. Sedangkan suami menginginkan keturunan shalih yang akan membahagiakannya di dunia dan akhiratnya. Maka, dia tidak mempunyai pilihan lain selain dua hal; menikah dengan isteri kedua yang akan melahirkan untuknya anak-anak yang akan membawa namanya dan menjalankan perannya dalam kehidupannya dan mendo’akan untuknya setelah kematiannya atau menceraikannya. Tidak diragukan bahwa memadunya adalah lebih utama dan lebih mulia daripada menceraikannya. Jika dia telah menghalangi untuk mendapatkan keturunan, maka semestinya dia tidak boleh menghalangi suaminya yang memuliakannya,menghormatinya dan menghargai kedudukannya untuk menikah lagi.
Memberikan referensi wanita yang shaliha yang layak untuk memberikan keturunan. Bukan diam setuju ketika seorang pelacur menjadi pilihan karena akan mempengaruhi keturunan yang akan dilahirkannya kelak. [Miftahul Jannah]