(Panjimas.com)– Assalamu ‘alaikum panjimas, Saya Nela dari Mataram. Saya mau tanya, “Bagaimana cara mendidik anak agar menjadi anak yang shaleh, terutama cara mendidik kepribadian anak agar tidak menjadi anak yang keras? Terima kasih, Wasalamu ‘alaikum wr.wb.
Wa’alaikumsalam warahmatullah wa barakatuh.
Bismillah, Ashshalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala ‘alihi wa man walahu. Amma Ba’du. Bunda Nela yang di rahmati Allah Ta’ala, memiliki anak yang shalih memang menjadi kebanggaan setiap orang tua ditambah lagi memiliki keshalihan yang disertai akhlaq yang mulia menjadi idaman tersendiri bagi setiap orang tua. Anak sebagai nikmat besar yang Allah Ta’ala karuniakan untuk setiap insan.
Keshalihan anak bisa berbanding lurus dengan kepribadiannya. Keshalihan yang dimiliki akan memancarkan sifat-sifat mulia anak dengan sendirinya. Ia dibentuk dari berbagai aspek pendidikan yang melatarbelakanginya.
Untuk menjawab pertanyaan diatas, “Bagaimana cara mendidik anak agar menjadi anak yang shalih dan memiliki kepribadian yang baik tidak kasar”. Berikut beberapa hal yang dapat kita perhatikan:
Pertama, Keshalihan orang tua, ia merupakan modal utama dalam mendidik anak, ia mempunyai andil besar dalam membentuk karakter shalih setiap anak. Bahkan modal ini yang menjadi modal utama membawa kebaikan untuk anak di dunia dan akirat. Jangan berharap penuh jika kita masih tersibukan dengan kemaksiatan, menginginkan seorang anak memiliki keshalihan pada dirinya.
Sedikit Kisah Nabi Musa bersama Khidr, yang dapat mengingatkan kita bahwa,“Keshalihan seorang hamba akan mendatangkan rahmat Allah SWT bagi anak keturunannya.” Yang dijelaskan dalam kisahnya ketika mereka melewati sebuah perkampungan. Keduanya meminta penduduknya agar menyambut dan menjamu mereka berdua. Namun penduduk menolak. Selanjutnya Nabi Musa dan Khidir melihat bangunan yang hampir roboh. Tiba-tiba Nabi Khidr memperbaiki dinding tersebut hingga tegak kembali. Maka Nabi Musa berkata, “Jika engkau berkehendak, tentu engkau bisa mengambil upah atasnya.” (QS. Al-Kahfi: 77). Kemudian dijawab pada ayat selanjutnya (QS. Al-Kahfi: 82) yang berbunyi, “Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan dibawahnya ada harta simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang shalih, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai pada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu.” (QS. Al-Kahfi: 82).
Ayat diatas menjelaskan bahwasannya sifat anak tumbuh dari keshalihan kita sebagai orang tua. Termasuk di dalamnya pola tarbiyah (pendidikan) yang selama ini kita berikan. Sehingga, bisa terlihat bahwa setiap gerak-gerik kita akan menjadi contoh bagi mereka dalam melakukan sesuatu. Ketika kita memberikan pola didik lemah lembut dan tidak kasar, anak pun akan mempraktikan hal tersebut dalam hidupnya. Sebaliknya ketika kita memberi pendidikan dengan keras, ia pun akan tumbuh menjadi kepribadian yang keras pula. Ibarat pepatah “buah tidak akan jatuh dari pohonnya”. Sehingga patut kita sadari bahwa salah satu karakter pendidik Sukses, yakni bersikap lemah lembut dan tidak kasar, bukan berarti tidak menegurnya jika anak berbuat salah.
Yakinlah,wahai bunda, “Sesungguhnya Allah SWT itu Maha Lembut dan menyukai kelemah lembutan dalam segala urusan.” (Muttafaqun ‘alaih).
Selain itu Rasulullah juga menguatkan kita dengan hadis lain, yakni: “Sesungguhnya sifat lemah lembut itu tidaklah ada pada sesuatu kecuali ia akan menghiasinya. Dan tidaklah sifat lemah lembut itu tercabut dari sesuatu kecuali akan menjadikannya buruk.” (HR. Muslim)
Kedua, Menjaga Lisan dan berusaha menanamkan anak dengan Ilmu. Tidak dapat dipungkiri, terkadang kita sebagai orang tua tidak sadar ketika sedang dilanda emosi akan mengeluarkan kata-kata kasar pada anak, sehingga membuat anak tidak nyaman terhadap dirinya dan diri kita.
Jangan sampai ucapan yang kita lontarkan menjadi do’a yang tidak kita inginkan. Menjadikan anak tidak sesuai dengan keinginan agama dan kita. Dalam hal ini Rasulullah mengaitkan keimanan dengan ucapan yang baik. Dengan sabdanya, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah berkata baik atau diam.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dengan sendirinya anak akan tahu jika orang tuanya sudah bersikap tidak seperti biasanya (diam, menahan emosi), itu bertanda bahwa orang tuanya tidak suka terhadap apa yang ia lakukan. Anak akan berkali-kali lipat berfikir untuk tidak akan mengulangi sikap buruknya tersebut. Namun, dari itu semua, berilah anak modal ilmu di dalamnya, boleh jadi anak melakukan pelanggaran karena ia tidak mengetahui hukum perbuatan yang dilakukannya itu atau sebagai pembelaan terhadap diri yang merasa dizholimi. Oleh sebab itu kita dituntut dalam hal ini memberikan pemahaman yang benar dengan ilmu yang dapat dimengerti olehnya. Sehingga, ketika ia melakukan sesuatu perbuatan, ia melakukan atas dasar ilmu yang ia miliki.
Ketiga, pastikan anak kecukupan kasih sayang, jangan sampai anak merasakan ada ketidakadilan orang tua terhadap dirinya. Sehingga muculnya kecemburuan sosial dalam anggota keluarga yang dapat mengeluarkan sifat-sifat yang tidak baik, seperti cari perhatian, senang berkelahi dan bermusuhan.
Keempat, dorong anak memilih teman-teman yang baik. Doronglah anak untuk senantiasa memilih teman-teman yang dapat mendekatkan dirinya dengan Rabbnya, yang dapat membawa kebaikan dunia dan akhirat. Dan terangkanlah kepadanya bahwa sesungguhnya jika ia memilih teman yang tidak baik maka teman itu akan menjadikannya musuh di dunia dan di akhirat. Sebagaimana di jelaskan dalam surah Az-Zukhruf: 67, yang artinya, “Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa.”
Kelima, Beri Motivasi dan jadilah teman yang menyenangkan. Marilah jangan lupa kita sebagai orang tua terus memberikan motivasi kepada anak, sehingga membuat anak percaya diri dan semangat dalam menjalani kehidupannya dengan sesuatu kebaikan. Dorong anak untuk senantiasa berlomba-lomba dalam hal kebaikan dan hindari kata-kata yang membuat anak menjadi lemah tidak berdaya.
Buat anak senyaman mungkin untuk menuangkan segala apa yang ia alami. Jangan sampai kita menjadi seseorang yang ditakuti, sehingga jika anak mengalami sesuatu yang menimpa dirinya, ia enggan bercerita dengan kita sebagai orang terdekatnya.
Keenam, bekerjasamalah dengan suami dalam hal ini, tidak bisa dipungkiri, kita tidak bisa mendidik anak sendiri tanpa ada kemantapan dari pihak lain. Banyak serangan yang akan kita terima diluar. Berbagai macam kecanggihan teknologi yang tidak bermannfaat, bahkan lingkungan akan sangat mempengaruhi. Jika kita tidak bekerjasama dengan ayah sang anak sangat sulit untuk dilakukan. Oleh sebab karena itu, suami merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan lingkungan keluarganya berada.
Ketujuh, bersabarlah dalam mendidik, ikhlas serta Do’a.Poin terakhir setelah kita berusaha semaksimal mungkin, ialah ia sadari benar bahwa anak yang kita miliki hanya sebuah amanah dari Allah SWT yang suatu saat akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang telah kita lakukan. Ketika kita sudah menjalaninya dengan benar, jadikanlah ia sebuah hadiah berupa ujian yang memang harus siap dan ikhlas menerima dan jalaninya. Bahwasannya telah di jelaskan bahwa, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” (QS. Al-Kahfi:46)
Anak sebagai ujian, “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah sebuah cobaan (bagimu; dan disisi Allah-lah pahala yang besar”. (QS. At-Taghaabun: 15).
Maka bersemangatlah bunda! Terus bersabar dan berdo’alah disetiap malammu, karena dengan do’a bisa merubah segalanya menjadi lebih baik.
Untuk kita sebagai orang tua harus sadari benar bahwa, mendidik anak membutuhkan kesungguhan. Mendidik anak memerlukan pengorbanan. Mendidik anak menuntut keikhlasan dan kesabaran. Mendidik anak membutuhkan Ilmu. [Miftahul Jannah]