Oleh : Tatang Hidayat
(Penulis Nilai-Nilai Pemikiran Pendidikan KH. Choer Affandi dalam Jurnal Tadris Vol 14, No. 1 tahun 2019 IAIN Madura)
Saat ada kabar Fauz Noor Zaman mau menulis Novel Biografi KH. Choer Affandi kemudian dibuka order di online, tidak saya tunda lagi untuk segera pesan karena sudah pasti novel ini akan indah dan menjadi bacaan penting. Selama proses penulisan novel ini, saya sempat diskusi dengan Fauz Noor tentang perjuangan KH. Choer Affandi.
Buku ini berjudul Pembuka Hidayah Novel Biografi Uwa Ajengan yang terbit April 2021, kebetulan saya baru membacanya ketika baru pulang dari Bogor setelah napak tilas perjuangan KH. Sholeh Iskandar dan KH. Abdullah bin Nuh.
Pagi itu saya merasa bersalah karena novel setebal 212 halaman ini saya lahap habis hanya dalam waktu kira-kira 2.5 jam, saya tidak ingin berlama-lama lagi untuk larut dalam jalan cinta KH. Choer Affandi. Bergetar hati dan bulir-bulir bening pun hampir menetes di pipi ketika saya membaca halaman pertama novel ini, sosok pemuda belasan tahun itu meskipun dalam keadaan terbaring dan tubuhnya lemas namun tidak menjadi alasan untuk terus mencari ilmu.
Selesai membaca buku ini, saya coba komunikasi kembali dengan Fauz Noor untuk menanyakan beberapa data yang ada di buku. Dengan husnuzhan-nya, ia menantang saya untuk membuat resensinya. Tentu sebuah tantangan yang begitu berat, apalah diri saya yang seorang penulis penulisan, sedangkan Fauz Noor penulis best seller.
Buku ini merupakan buku ketiga Fauz Noor Zaman dalam mengangkat biografi ulama dengan pendekatan fiksi dalam bentuk novel. Sebelumnya ia telah menulis buku fiksi biografi ulama Syahadah Musthafa (Biografi Asy Syahid KH. Zainal Musthafa) dan Cahaya Muhsin (Biografi KH. A. Wahab Muhsin).
Bedanya, buku ketiganya ini dibagi menjadi 3 jilid, dan ini jilid pertamanya. Buku ini berlatar belakang biografi KH. Choer Affandi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Uwa Ajengan, Ulama Legendaris dari Pondok Pesantren Miftahul Huda Manonjaya. Dari sisi bahasa, saya sangat terpesona dengan penulis buku ini, Fauz Noor mampu mengolaborasikan kekayaan kosakata dan cara beliau menuliskannya tidak pernah membosankan.
Sebelum menutur pandangan subjektif buku ini, saya merasa terlebih dahulu perlu mengucapkan apresiasi kepada penulis yang telah melakukan riset melalui perjalanan menemui para keturunan KH. Choer Affandi untuk meminta izin dan mengambil data, menjejak kaki di sekitar tanah priangan bahkan bisa saja lebih dari itu untuk menelusuri perjuangan KH. Choer Affandi demi lahirnya karya ini.
Seperti 2 buku Fauz Noor sebelumnya yakni Syahadah Musthafa dan Cahaya Muhsin, ia adalah penulis yang gemar meletakkan rima pada tiap paragraf deskripsinya, gaya bahasanya khas, diksi-diksinya mengalir, bukan mendikte. Penggambaran tokoh, waktu, tempat dan budaya pun dibuat sedetail mungkin sehingga tidak perlu repot membayangkannya. Pembaca sudah dibawa hidup ke dalam cerita.
Kisah dalam buku ini benar-benar mampu menghipnotis setiap para pembaca sehingga tidak menyadari kalau sudah tiba di akhir halaman. Saya sangat salut dengan penulis yang mampu menggambarkan dan mengolaborasikan data-data sejarah dengan gaya fiksi dan tentunya itu tidak mudah. Pastilah penulis sebelumnya telah melakukan banyak riset untuk menulis buku ini. Para pembaca yang sebelumnya belum menelusuri literasi biografi KH. Choer Affandi akan sulit membedakan mana yang sejarah dan mana yang fiksi, karena cerita ini dikemas dengan apik.
Dari unsur tata bahasa dan sastra, kita juga dapat banyak pelajaran dari buku ini, penggunaan bahasa Sunda dalam beberapa percakapan semakin menambah menariknya buku ini, sehingga semakin menguatkan identitas dan ciri khas ulama Priangan yang diangkat dalam buku ini, meskipun pembaca yang belum paham bahasa Sunda harus melihat foot note untuk memahaminya. Di sisi lain, nuansa lokalitas tanah priangan begitu kuat. Saya bisa merasakan suasana pegunungan priangan, pesantren, dialog sunda serta bumbu-bumbu ledekan khas orang sunda.
Pada bagian prolog, saya salut pada penulis, beliau tidak malu-malu langsung menyampaikan narasi salah satu peristiwa sejarah perjalanan bangsa Indonesia yakni peristiwa Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang selama ini oleh Negara Kesaturan Republik Indenesia dipandang sebagai “pemberontak” bahkan penulis tidak malu-malu untuk menyampaikan salah satu tujuan penulisan novel ini dengan maksud sedikit mengikis makna “pemberontak” yang disematkan kepada para Ajengan Tasikmalaya dengan proporsional tentunya, karena memang dalam menulis biografi KH. Choer Affandi pasti akan melalui peristiwa DI/TII. Sementara kita tahu, di awal kemunculan DI/TII, hampir tak ada ajengan di Tasikmalaya yang menjadi DI/TII, hanya saja ada yang aktif terlibat atau sekedar hanya menjadi simpatisan diam.
Karena membaca buku ini perasaan saya diobrak abrik sebegitu rupa oleh penulis dengan bahasannya, keren banget pokoknya ketika mendengar nama Choer Affandi. Pokoknya jadi timbul rasa semakin kagum, dan bangga sama beliau.
Meskipun hidup sebagai keturunan menak, namun tidak serta merta membuat Onong Husnen hidup penuh manja. Bapaknya adalah Raden Mas Abdullah bin Hasan Ruba’i bin Nawawi bin Musadad bin Singawijaya bin Muhammad Alfi Hasan bin Muhammad Zain bin Syarifuddin bin Tirtrapraja bin Raden Anggadipa I atau dikenal Dalem Sawidak atau biasa disebut Raden Tumenggung Wiradadaha III, yang jika ditarik ke atas merupakan keturunan Sultan Mataram. Adapun dari pihak ibu, Siti Aminah binti Marhalah trah Syaikh Rahmat Suci Godog Garut. Jadi dalam dirinya mengalir darah bangsawan dan ulama.
Novel ini diawali dengan sosok Onong Husnen yang semangat dalam mencari ilmu, hingga digambarkan beliau menjadi santri kelana yang belajar kepada para Ajengan di Jawa Barat, Jakarta hingga Jawa. Onong Husnen belajar kepada KH. Abdul Hamid, KH. Zainal Mushtafa, Ajengan Masluh Legokringgit, KH. Shobir (Pesantern Pani’is), KH. Dimyati (Pesantren Tunagan), KH. Mansur (Pesantren Jembatan Lima Jakarta), KH. Ahmad Sanusi (Pesantren Syamsul Ulum Gunung Puyuh Sukabumi), KH. Dimyati (Pesantren Tipar Sukabumi), KH. Didi Abdul Majid dan masih banyak ajengan-ajengan lainnya. Sebagaimana ada sisi kemanusiannya, Kang Fauz Noor mampu menggambarkan sosok Onong Husnen yang senang bermain bola, bahkan berposisi sebagai gelandang dan menyukai pagelaran wayang golek.
Bagian selanjutnya, Fauz Noor menggambarkan sosok Onong Husnen yang menjadi ajengan, dan menjadi tentara serta ikut terlibat dalam perlawanan saat terjadinya agresi militer Belanda. Fauz Noor menggambarkan pula bagaimana terjadinya peristiwa perubahan nama dari Onong Husnen menjadi Choer Affandi, hingga bagaimana Choer Affandi bersama istri, Abdul Fattah harus berjuang ke hutan.
Fauz Noor mengemas kisah perjuangan dalam karya fiksi. Dengan gagasan yang menarik memadukan antara Islam, pesantren, priangan, dakwah, dan perjuangan membela negeri khususnya Jawa Barat menjadi semakin menarik untuk dibaca.
Terdapat banyak hal yang tidak mungkin, terjadi pada masa itu, yakni karamah orang shalih seperti peristiwa 20 TII yang sudah didoakan oleh KH. Zaenuddin tokoh sepuh Masyumi di Cikatomas, mereka diamanahi untuk pergi ke Tanjung Priuk untuk mengambil senjata bantuan dari Pakistan. Saat itu mereka melakukan perjalanan dari Tasikmalaya ke Tanjung Priuk, jarak yang biasanya ditempuh beberapa hari dengan jalan kaki, namun saat itu mampu ditempuh hanya dalam waktu setengah hari. Di sisi lain, bagaimana Choer Affandi juga diperlihatkan hal-hal yang mustahil manusia biasa merasakannya.
Sementara itu, tidak lengkap kalau sebuah buku fiksi tidak melibatkan cerita kisah kasih di dalamnya. Saya sebagai pecinta roman tentu menyukai hal ini. Namun dalam novel ini, penulis belum berani menampilkan bagaimana kisah roman Choer Affandi masa mudanya, inilah salah satu yang dirasa kurang dalam novel ini. Mungkin penulis memosisikan dirinya sebagai santri, inilah salah satu kelebihan santri dalam menulis, dalam menulis pun tetap tidak meninggalkan identitasnya sebagai santri untuk menjaga adab-adab kepada gurunya, apalagi ketika mau menulis yang berhubungan dengan hal-hal pribadi.
Melalui buku ini, saya mendapat informasi baru terkait teka-teki perubahan nama baru Onong Husnen menjadi Choer Affandi, ternyata ada kaitannya dengan Kekhalifahan Turki.
Saat itu Onong Husnen sedang duduk di puncak gunung, ia pun sekarang merasa dikerubungi oleh cahaya. Ini pengalaman pertama. Belum pernah ia menyaksikan cahaya yang terus mendekat dan menggumpal dalam satu ruang yang penuh. Tiba-tibah, ya tiba-tiba, ia menyaksikan dalam cahaya itu ada sesuatu yang bergerak peran membentuk satu lapadz arab. Alif, fa, nun dan dal. Alif, fa, nun dan dal. Alif, fa, nun dan dal. Empat hurup itu terus menebal dan semakin tebal. Ia berusaha membaca rangkaian hurup itu. Bibirnya bergerak membacanya. Affandi, Affandi, Affandi (Zaman, 2021:131-132).
Dalam bagian yang lain, Ajengan Bunyamin menanyakan tentang perubahan nama tersebut.
“Kang, saya mendengar nama akang sekarang menjadi Choer Affandi?” tanya ajengan Bunyamin, seseorang yang usianya tak jauh berbeda dengan putra Raden Mas Abdullah.
“Kata siapa?” tanya ajengan Husnen.
“Ada beberapa rekan bercerita tentang mimpi akang sebelum berbaiat kepada Imam Kartosuwiryo”
“Kebetulan saya sekarang mendapat amanah sebagai bupat dan jabatan ini di Kekhalifahan Turki mendapat sebutan Affandi”.
“Sae pisan, Kang. Barokah kanggo pergerakan urang, Kang.”
“Kalau Choer, Kang?”
“Ah itu mah tatangga lamun kaula ngaji sok disarebut Choer…Choer…Choer”
“Masya Allah… Jadi Choer Affandi.” (Zaman : 139-140).
Begitulah penulis menuangkan akan teka teki perubahan nama Onong Husnen menjadi Choer Affandi. Memang saat itu, Choer Affandi diamanahi menjadi Bupati DI/TII Tasikmalaya, dan dalam Kekhalifahan Turki, nama Effendi atau derivasinya Efendi dan Affandi berasal dari Turki Utsmani. Effendi merupakan gelar kebangsawanan di Turki. Macam Sir kalau di Inggris, atau Dato’ kalau di Malaysia. Hanya saja gelar ini ditaruh di belakang nama. Gelar ini biasanya diberikan kepada orang-orang yang memiliki kedudukan atau jabatan tinggi di pemerintahan. Gelar ini diberikan pula kepada orang-orang terpelajar atau para ulama.
Sementara itu, saya melihat sebuah konsep diri yang sangat kuat dalam diri Choer Affandi pada kisah versi Fauz Noor. Bagaimana beliau menjalani hidup dengan cara menempuh jalan yang sulit, bahkan harus masuk hutan. Detail deskripsi ini pula yang menyebabkan kita bisa turut berempati pada tokoh-tokohnya, salah satunya bagaimana keprihatinan Oyoh Shofiyah, istri beliau yang setia menemani perjuangan suaminya, ketika mengandung pun harus masuk hutan dan menempuh perjalanan jauh. Bahkan di bagian akhir buku ini, bagaimana Choer Affandi dan istri harus bersedih dengan kehilangan putra mereka untuk kedua kalinya.
Hal terpenting, ada banyak pesan yang tersirat dan tersurat. Utamanya tentang perjuangan mencari ilmu, ketegasan prinsip, cinta syariah, pengorbanan, dan melanjutkan dakwah. Terharu, itu kesan saya ketika membaca bagian akhir buku ini.
Setiap santri di tatar sunda umumnya, dan priangan timur khususnya pasti sudah mengenal dengan sosok legendaris ini. Fauz Noor dalam buku ini bukan hanya bermaksud mengabadikan perjuangan Choer Affandi, tetapi lebih dari itu, ia ingin mengabadikan bagaimana semangat juangnya Choer Affandi dalam mencari ilmu, ketegasan memegang prinsip, cinta syariah, pengorbanannya dalam mempertahankan Jawa Barat dan negeri ini, serta dalam melanjutkan dakwah. Penulis ingin mewariskan nilai-nilai itu pada kita. Bukan mengenang hidupnya, tetapi mengajak kita hidup bersama beliau, dan menyeret kita untuk tenggelam pada berbagai golak rasa yang beliau alami sepanjang perjuangan.
Itulah kenapa, catatan sejarah yang mengandung fakta, data, informasi, dan praduga sejarah yang kualitas akurasinya ini dapat dipertanggungjawabkan, Fauz Noor tulis dalam balutan fiksi. Selain untuk menarik kalangan milenial untuk membaca dan mengenal biografi para ulama. Di sisi lain, agar cerita ini memiliki ruh seperti yang dicita-citakan. Hingga dapat menularkan rasa memiliki pada negeri Indonesia, cinta mendalam pada Agama Islam, dan kebutuhan yang besar untuk memperjuangkan keduanya.
Tentunya satu novel tidaklah bisa atau kurang lengkap untuk menjelaskan biografi KH. Choer Affandi dan kompleksitas dari peristiwa DI/TII. Teman-teman perlu membaca buku-buku dan hasil penelitian lain yang mengangkat sosok KH. Choer Affandi, Pesantren Miftahul Huda Manonjaya dan peristiwa DI/TII. Namun bagi saya novel dari Fauz Noor ini bisa membantu kita untuk membangkitkan ghirah (semangat) dalam berdakwah dan mempelajari sejarah yang mulai dilupakan oleh generasi penerus.
Sungguh malu ketika mereflesikan diri dengan perjuangan para pendahulu kita dalam mempertahankan haknya. Mempertahankan tanah, kehormatan, serta agamanya. Buku ini sekaligus menjadi cambuk bagi kita semua generasi muda untuk membayar hutang budi kepada KH. Choer Affandi dan agar tidak bermudah-mudah dalam membuang waktu yang berharga. Setiap detik yang kita lalui sejatinya adalah perjuangan, karena bangsa ini belum merdeka sepenuhnya.
Terakhir saya harus memuji betapa novel ini pekerjaan besar bagi seorang penulis. Menyusun 212 halaman, menjahit fakta sejarah, menyisipkan pesan, serta membangun kisah fiksi yang merujuk referensi yang beliau baca pasti bukan pekerjaan mudah, yang harusnya disusun lama namun ini disusun dengan waktu yang singkat.
IDENTITAS BUKU
Judul: Pembuka Hidayah Novel Biografi Uwa Ajengan
Pengarang: Fauz Noor Zaman
Penerbit : Tapak Sabda
Cetakan: 1, April 2021
ISBN: 978-62391126-8-4
Tebal: xiv + 212 halaman