PANJIMAS.COM – Tiga bulan mendiami ruang tahanan Polda Jawa Tengah, Ranu Muda Nugroho, wartawan Panjimas.com, tak bisa leluasa melihat matahari. Ruang tertutup seluas 2,5 x 2,5 meter persegi telah membatasi geraknya. Ia hanya bisa menikmati pantulan sinar matahari dari balik jendela kecil berjeruji di dalam selnya.
Perasaan Ranu bercampur aduk saat pertama mendiami sel tersebut. Maklum, hari-hari yang biasa ia lewati dengan setumpuk aktivitas liputan dan laporan, kini terhenti.
“Air mata saya jatuh di hari pertama saya dipenjara. Saya menangis,” ungkap Ranu saat dibesuk rekan-rekannya sesama wartawan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kedungpane, Semarang, Jawa Tengah, pertengahan Maret lalu.
Air mata itu bukan tanda Ranu telah menyerah. “Seorang jurnalis tidak boleh berhenti berjuang (setelah ia dipenjara). Sebab, kemaksiatan juga tidak akan pernah berhenti,” kata Ranu dalam kesempatan lain ketika ditemui jelang sidang perdananya di Pengadilan Negeri Semarang, Jl. Siliwangi No 512, Kembangarum, Semarang Barat, Jawa Tengah.
Di kalangan jurnalis, Ranu dikenal sebagai wartawan investigatif dengan spesialis tempat-tempat maksiat, khususnya di Solo, Jawa Tengah. Namun, Allah SWT justru menguji pria kelahiran 1980 ini lewat aktivitas tersebut.
Ranu “tersandung” peristiwa sweeping disertai tindak kekerasan di Social Kitchen, sebuah resto dan bar di Banjarsari, Solo, Jawa Tengah. Ayah dua anak ini didakwa oleh pihak kepolisian terlibat dalam aksi tersebut.
Ranu memang berada di bar tersebut saat aksi kekerasan itu terjadi. Namun, ia membantah terlibat aksi tersebut. “Saya ke sana untuk liputan,” katanya.
Sayangnya, polisi tak mempercayai bantahan Ranu. Anggota Jurnalis Islam Bersatu (JITU) ini tetap ditangkap, dipenjara, lalu disidang bersama sejumlah anggota Laskar Umat Islam (LUIS), orang-orang yang juga didakwa oleh kepolisian sebagai pihak yang bertanggungjawab atas kericuhan tersebut.
Kini, setelah tiga bulan mendekam di ruang tahanan Polda Jawa Tengah, Ranu dipindah ke Lapas Kedungpane, Semarang, Jawa Tengah. Di “hotel Prodeo” yang baru ini, Ranu bisa sedikit bebas ke luar kamar selnya. Ia juga beberapa kali diizinkan keluar blok meski hanya sebentar.
“Alhamdulillah, saya sudah bisa leluasa melihat matahari,” kata Ranu seraya tersenyum lebar.
Namun, kehangatan sinar matahari yang dinikmati Ranu tetap belum sempurna. Ranu masih mengharapkan kembalinya kehangatan yang telah terenggut saat jeruji besi itu mengurungnya, yakni kehangan keluarga yang menantinya dengan sabar, serta kehangatan profesi jurnalistik yang ditekuninya selama ini.
Inilah kisah Ranu, sang jurnalis yang berjuang mendapatkan kembali “mataharinya”. Simak kisah lengkapnya dalam laporan sebanyak 5 halaman di Majalah Suara Hidayatullah edisi Mei 2017. Untuk pemesanan silahkan hubungi 0857 4894 7940 (Jakarta) atau 0821 4040 4051 (Surabaya). [AW/Mahladi]