Hidup layak dengan sandang, pangan, papan, yang serba tercukupi adalah keinginan setiap manusia di muka bumi. Namun tak setiap orang mendapatkan keberuntungan yang sama. Asal bisa mengisi perut dengan sisa makanan yang terbuang di tong sampah, asal mengenakan busana bekas pemberian orang dan asal dapat berteduh meski di sebuah emperan toko dan kolong jembatan.
Manusia harus menerima manis pahitnya kenyataan. Dalam sebuah film pendek karya Rahmat Akbar yang sekaligus sebagai sutradara dan istrinya Maria Endah Wahyu Ningrum sebagai penulis sekenario. Film ini mengkisahkan seorang anak bernama Ahmad yang diperankan oleh Ahmad dan ayahnya yang diperankan oleh Agus Sunarno alias Agus Es Teh. Ahmad adalah seorang bocah yang mengalami nasib yang kurang beruntung di usianya. Tak seperti anak lainnya yang berangkat sekolah dengan menggendong tas berisi pensil dan buku pelajaran, mengenakan seragam merah putih dan bersepatu hitam.
Ahmad hanya menggendong karung berisi kardus dan besi tua, ia mengenakan pakaian yang serba lusuh dan kumal. Hidup tanpa seorang Ibu yang susah payah melahirkannya. Ia dan ayahnya bertahan hidup di jalanan dengan mengais barang bekas di tempat-tempat pembuangan.
Ahmad adalah seorang anak yang kerap menginginkan sesuatu. Ia kadang tergiur dengan makanan dan minuman yang dinikmati orang yang dijumpainya. Ia terpaksa menelan ludah. Ayahnya tak mampu membelikannya. Ayahnya yang sabar kemudian mengajaknya bekerja keras agar keinginannya dapat terwujud. Mereka berdua bergegas mengais barang bekas di jalanan, di pinggiran rel kereta dan tempat-tempat kumuh lainnya. Kemudian menjualnya ke pengepul rongsok langganannya.
Mereka akhirnya memperoleh uang 9000 dari hasil memulung. Ahmad diberi uang 2000, sedangkan uang 7000 dipegang oleh ayahnya. Rencananya ia belikan nasi kucing dan es teh. Di tengah jalan, mereka bertemu dengan seorang pengemis yang mengaku beberapa hari belum makan. Ayahnya merasa iba, dan memberikan uang 2000 kepada pengemis tersebut namun Ahmad sempat tidak terima, namun ayahnya memberikan nasehat bahwa menjadi seorang lelaki harus tegar dan suka membantu orang lain yang lebih kesusahan. Kini tinggal uang 5000 dipegang oleh ayahnya.
Tak berselang lama, cerita miris kembali terjadi dengan adanya penertiban oleh petugas terhadap para tuna wisma sehingga Ahmad dan ayahnya harus berlari kencang. Sehingga uang 5000 yang dipegang ayahnya jatuh di jalan. Sisa uang 2000 satu-satunya yang dipegang oleh ahmad.
Singkatnya, bertemulah mereka dengan (WM) Warung Murah 2000. Sebuah komunitas yang bergerak di bidang sosial yang menjajakan makanan berlauk pauk lezat hanya dengan harga 2000 per bungkus. Dari hasil penjualannya dikumpulkan dan dibelanjakan kembali untuk memberi makan para dhuafa di malam Minggu.
Ahmad dan ayahnya hendak membeli nasi satu bungkus. Mengetahui kondisi Ahmad dan ayahnya yang memprihatinkan tersebut, WM hendak memberikannya secara cuma-cuma. Namun tawaran itu ditolaknya. Ayah Ahmad lebih memilih membayarnya sesuai harga yang telah ditentukan. Ia juga ingin bersedekah untuk para dhuafa dengan uang yang mereka punya. Akhirnya mereka diberi nasi dua bungkus oleh WM.
Berawal dari temuan sang sutradara yang melihat realita di jalanan. Sebuah keluarga kecil yang tidur di emperan toko di Kota Surakarta yang tersebar di sekitar Coyudan, Pasar Legi, Pasar Gedhe dan lainnya. Film ini melibatkan sekitar 20 relawan Warung Murah 2000 dan memakan waktu sekitar satu bulan. Sang sutradara Akbar sapaan akrabnya mengatakan bahwa proses produksi film tersebut penuh perjuangan dan biaya yang pas-pasan.
“Ingat sekali pada saat itu ketika kita mau melangkah kita belum punya dana sama sekali, baru mas Nur bikin proposal kecil-kecilan lewat WA (Whatsapp), dapatlah uang 500 ribu pertama, kemudian kita menyebar lagi proposal yang sifatnya kerjasama pemasangan iklan untuk credit title pada filmnya,” kata Akbar kepada Panjimas.com, Jum’at (17/9/2021).
Film ini cukup menyayat hati para penonton. Namun untuk menghidupkan suasana, sutradara menyisipkan adegan lucu di beberapa skenario. Film ini diwarnai dengan aksi kejar-kejaran para tuna wisma dengan petugas penertiban. Dan adegan seorang Youtuber rakus yang sedang membuat konten dengan makan bakso beberapa mangkok. Kerakusannya menjadikannya tak menghiraukan apapun disekelilingnya. Hilang rasa empatinya dan lebih mementingkan perutnya sendiri tanpa peduli dengan sesama.
Rasa keprihatinan sutradara akhirnya menjadikan film ini sebagai ajang motivasi untuk penonton agar berbuat baik terhadap sesama. Sikap derma yang ditunjukkan oleh ayah Ahmad, mengajarkan agar bersedekah meskipun dalam kondisi susah. Ia selalu melihat orang yang bernasib dibawahnya.
Film ini tidak diunggah ke media sosial seperti youtube, namun diputar oleh WM 2000 di Masjid, Mushola, di Lembaga-lembaga sosial dan tempat-tempat lainnya. Ia mengatakan bahwa sinema sebagai bentuk media audio visual dan media kesenian yang bisa dijadikan sebagai media propaganda seperti yang digunakan oleh banyak negara.
“Dalam hal ini kita akan mencoba melakukan propaganda yaitu propaganda kebaikan agar harapannya sekali orang yang menonton film ini tergugah hatinya untuk melakukan upaya sedekah, upaya hatinya untuk melakukan kebaikan-kebaikan pada orang lain karena saya percaya kebaikan itu menular,” katanya.
Ia juga berharap dengan proses pembuatan film tersebut dapat ditiru oleh aktivis lain dan menjadikan sinema sebagai bentuk dan cara berdakwah. Sinema bisa menyampaikan aspirasi-aspirasi masyarakat dengan cara yang lebih profesional dan kreatif.