JAKARTA, (Panjimas.com) — Pemerintahan Presiden Jokowi dinilai akan menghadapi situasi berat untuk mencetak surplus perdagangan nasional seperti pada tahun sebelumnya, mengingat defisit neraca perdagangan Indonesia saat ini merupakan yang terburuk kedua di Asia Tenggara, dikutip dari CNBC.
Sekitar tiga hari yang lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan defisit neraca perdagangan hingga Juli telah mencapai US$3,02 miliar (Rp 44 triliun) secara tahun berjalan (year-to-date/YTD).
Sementara pada bulan Juli saja, angka defisit mencapai US$2,03 miliar, menjadi defisit perdagangan bulanan yang terbesar sejak Juli 2013. Lonjakan impor minyak di tengah kenaikan harga minyak dunia menjadi salah satu pemicu utamanya.
Apabila membandingkan data neraca perdagangan Indonesia dengan negara lain. Namun sayangnya, hanya Thailand, Singapura dan Indonesia yang telah melaporkan data perdagangan per Juli. Malaysia, Thailand, dan Filipina baru merilis data perdagangan per Juni.
Menurut data Reuters, neraca perdagangan Indonesia sepanjang semester pertama tahun ini merupakan yang terburuk kedua di antara negara-negara di Asia Tenggara yakni sebesar US$1,05 miliar. Filipina berada di posisi paling buruk dengan total defisit perdagangan US$19,11 miliar.
Catatan merah defisit perdagangan nasional tersebut menjadi sangat ironis jika dibandingkan dengan negara tetangga Singapura yang luasnya hanya 718 kilometer persegi, atau hanya 0,04% dari luas Nusantara.
Negara terkecil di antara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Association of Southeast Asia Nations/ ASEAN) ini justru memimpin dari sisi perdagangan di kawasan, dengan mencatatkan surplus US$25,2 miliar sepanjang semester 1-2018.
Malaysia menyusul dengan surplus US$16 miliar. Sama seperti Singapura, neraca perdagangan Negeri Jiran ini sepanjang 2018 bersih dari catatan merah, alias tak pernah tekor. Vietnam dan Thailand mengekor, masing-masing dengan surplus US$3,9 miliar dan US$3,5 miliar.
Lonjakan defisit Indonesia diikuti pelemahan rupiah pada perdagangan sepekan terakhir. Terhadap dolar AS, rupiah melemah 1% mengiringi kabar defisit tersebut. Itupun terbantu oleh kebijakan Bank Indonesia (BI) yang menaikkan suku bunga acuan secara mendadak menjadi 5,5%.
Membengkak Karena Kebijakan Populis?
Jika dilihat latar belakang perekonomiannya, Indonesia dan Filipina sama-sama memiliki kesamaan yang melempar keduanya dalam jurang defisit, yakni posisi sebagai importir utama minyak mentah dunia dan ambisi infrastruktur.
Badan Statistik Filipina melaporkan impor besi dan baja melonjak 79,1% pada Juni, sedangkan impor minyak naik 32%. Lonjakan impor besi dan baja terkait dengan upaya Presiden Rodrigo Duterte menggenjot infrastruktur dengan menggelontorkan 8 triliun peso (Rp 2.188 triliun).
Di Indonesia, Presiden Jokowi menargetkan kucuran dana infrastruktur senilai total Rp 4.700 triliun dari 2015-2019. Beberapa waktu lalu, pemerintah telah menyatakan akan mengevaluasi proyek infrastruktur non-prioritas untuk dihentikan sementara guna mengerem laju impor.
Di sisi lain, konsumsi minyak Indonesia mencapai 1,65 juta barel per hari (bph), sedangkan Filipina mencapai 455.000 bph (2017). Di tengah kenaikan harga minyak mentah dunia rata-rata sebesar 8%, nilai impor migas pun melesat.
Tidak heran, Impor migas pada Juli melonjak 47,1% (YOY) menjadi US$2,6 miliar atau jauh melesat dibanding kenaikan impor non-migas yang sebesar 29,3% (YOY) menjadi US$15,7 miliar.
Selain faktor harga, lonjakan impor migas juga terkait dengan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) nasional yang terus meningkat, apalagi setelah pemerintah memberlakukan kebijakan BBM satu harga dan kewajiban Pertamina memasok BBM berjenis premium.
BPH Migas menyebutkan kewajiban penjualan premium di 571 SPBU (stasiun pengisian bahan-bakar umum) Jawa, Madura, dan Bali berujung pada kenaikan konsumsi premium sebesar 20% terhitung sejak Lebaran kemarin.
Perlu dicatat, angka ini belum memasukkan kenaikan konsumsi BBM di luar Jawa setelah pemberlakuan kebijakan 1 harga. Dengan harga BBM yang kian terjangkau, secara natural permintaan akan meningkat (dengan Pertamina kian tekor menanggung ongkos pengangkutannya yang mahal).
Di sisi lain, impor non-migas yang menyumbang 83,8% dari total impor nasional juga melonjak. Impor bahan baku naik 30,1% menjadi US$16,7 miliar, sedangkan impor barang modal naik 24,8% menjadi US$2,9 miliar.
Impor barang konsumsi yang “untungnya” baru menyumbang 10% total impor nasional pun melesat lebih dari 60% secara tahunan (year-on-year/YOY) pada Juli. Beberapa di antaranya adalah apel dari China dan daging dari India.
Jika dirata-rata, Indonesia menanggung tekor dalam neraca perdagangannya sebesar US$175 juta per bulan sepanjang 6 bulan pertama tahun ini. Jika dihitung sampai dengan Juli, reratanya mencapai US$440 juta.
Bisakah pemerintah membalik kondisi tersebut dalam 5 bulan waktu yang tersisa untuk bisa mencetak surplus perdagangan seperti tahun lalu ketika surplus perdagangan mencapai US$11,8 miliar? Sepertinya bakal sulit.
Periode Surplus Dagang
2015 US$7,5 miliar
2016 US$10 miliar
2017 US$11,8 miliar
Sumber: Reuters
Sepanjang 7 bulan pertama tahun ini saja, pemerintah telah mencetak defisit US$3,08 miliar. Artinya, jika ingin mencetak surplus sama seperti tahun lalu, pemerintah harus mencetak surplus perdagangan data-rata US$3 miliar per bulan dari Agustus hingga Desember.
Apalagi, tren impor minyak Indonesia cenderung naik dalam 12 bulan terakhir. Data Statistik Perdagangan Luar Negeri BPS (terbaru per Mei) mencatat impor migas cenderung menguat dari Mei 2017-Mei 2018 dengan level tertinggi Mei 2018 sebesar US$2,86 miliar.
Dari situ, impor minyak mentah dan hasil minyak menyumbang 91,5% terhadap total impor migas nasional. Kenaikan tertinggi dibukukan oleh impor hasil minyak yang naik 32,8%, sedangkan impor minyak mentah tumbuh 10,62%.
Selain minyak, barang yang terkait dengan proyek infrastruktur dan pembangkit listrik juga naik. Impor non-migas sepanjang Januari-Mei 2018 naik dalam persentase lebih tinggi, yakni sebesar 25,9%. Kenaikan itu lebih tinggi dari impor migas yang tumbuh 19% pada periode yang sama.
Barang penyumbang utamanya adalah mesin dan alat angkutan senilai US$24,9 miliar, diikuti barang-barang buatan pabrik senilai US$13,2 miliar. Produk minyak dan bahan bakar mineral berada di posisi ketiga sebesar US$12,6 miliar.
Dalam 5 bulan pertama tahun ini, nilai impor besi dan baja nasional saja secara total telah menembus US$4,3 miliar. Angka itu mencapai separuh lebih dari total impor besi dan baja dalam 12 bulan tahun lalu yang mencapai US$8 miliar.
Di tengah kondisi demikian, pemerintah semestinya tidak hanya mengevaluasi beberapa proyek infrastruktur non-prioritas. Kebijakan BBM yang populis tapi mahal itu juga perlu harus dievaluasi karena memperberat beban neraca perdagangan (dan juga keuangan Pertamina).
Jika gagal menahan laju impor, maka 2018 akan menjadi defisit perdagangan pertama di era Jokowi. Tentunya akan ironis jika kebijakan populis justru membuat Indonesia terjerembab menjadi negara dengan status multi defisit: defisit anggaran, defisit perdagangan, dan defisit neraca transaksi berjalan.[IZ/CNBC]
Data