JAKARTA, (Panjimas.com) — Informasi yang diterima masyarakat bahwa pemerintah Indonesia telah berhasil menaklukan Freeport dinilai para pengamat Migas sebagai sesuatu euforia yang berlebihan dan tidak sesuai dengan kenyataannya.
“Ternyata klaim tersebut hanya sensasi berlebihan, karena sarat dengan motif pencitraan politik yang kental. Bahkan muncul pula kecurigaan, jangan-jangan ada oknum-oknum yang mendapat rente dari tingginya harga saham yang akan dibayar Inalum untuk divestasi saham tersebut,” pungkas peneliti Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara dalam Diskusi Nasional “Menggugat Kerjasama Pengelolaan Freeport” yang diadakan oleh Indonesiaan Resources Studies (IRESS) di Komplek DPR/MPR Senayan Jakarta pada Kamis (26/07).
Disebutkan pemerintah berhasil meminta Freeport menyerahkan 51% saham perusahaan kepada Indonesia, dan Kontrak Karya (KK) yang berubah menjadi Izin Usaha Penambangan Khusus (IUPK). Untuk itu, Pemerintah RI dan Freeprot McMorant Inc. (induk PT Freeport Indonesia, PTFI) telah sepakat menandatangani kesepakatan pokok berupa Head of Agreement (HoA) pada 12 Juli 2018.
Bagi IRESS, bukan saja publik perlu disadarkan untuk tidak tertipu, larut dalam euforia, merasa diri menang padahal pecundang, tetapi juga harus menggugat pemerintah untuk tidak melanjutkan HoA, karena berbagai pelanggaran peraturan dan potensi kerugian negara yang cukup besar.
Apa saja hal-hal yang perlu diketahui publik? Pertama, ternyata yang disepakati dalam HoA barulah pokok-pokok kesepakatan. HoA merupakan perjanjian payung yang mengatur hal-hal prinsip. HoA bukan kesepakatan yang sudah mengikat dan bukan pula perjanjian jual beli saham. HoA yang ada saat ini antara lain berisi tentang struktur transaksi divestasi, dan nilai transaksi divestasi, yang masih akan dibahas beberapa bulan ke depan.
Kedua, nilai yang akan dibayar oleh Indonesia untuk membeli saham sebesar 41,64% (untuk menjadi 51%, dari yang saat ini 9,36%) sangat besar, yakni US$ 3,85 miliar. Nilai ini jauh di atas harga wajar, karena pemerintah menyetujui permintaan Freeport bahwa nilai saham dihitung atas asumsi KK berlaku hingga 2041.
“Padahal dalam Pasal 31 KK Freeport tercantum ketentuan bahwa KK akan berakhir pada 2021. Freeport memang berhak mengajukan perpanjangan KK hingga 2041. Namun pemerintah Indonesia berhak pula tidak menyetujui permintaan perpanjangan tersebut jika memiliki alasan yang wajar,” paparnya.
Faktanya, pemerintah memiliki sekian banyak alasan wajar untuk tidak memperpanjang Kontrak Karya (KK). Salah satunya dengan menerapkan berbagai ketentuan dalam UU Minerba No.4/2009. Hal lain adalah dengan merujuk aspirasi masyarakat yang sudah puluhan tahun menuntut tegaknya kedaulatan dan dominasi BUMN di tambang Freeport.
“Jika pemerintah berpikir logis, karena harga saham tergantung masa berlaku KK, sementara hak untuk menentukan diperpanjang atau tidaknya kontrak ada di tangan kita, maka menjadi sangat naif jika kita memilih opsi yang justru membuat kita membayar lebih mahal,” jelas Marwan Batubara.
“Dengan tidak diperpanjangnya KK, maka kita akan memperoleh harga yang jauh lebih murah. Ternyata pemerintah malah sudah menyetujui harga saham sebesar US$ 3,85 miliar, karena, mengutip pernyataan Menkeu Sri Mulyani, harga tersebut telah dikunci dalam HoA,” sambung Marwan.
Ketiga, dengan menyatakan KK Freeport tidak akan diperpanjang pasca 2021, maka perhitungan harga saham akan ditentukan sesuai prinsip yang diatur dalam Pasal 22 KK. Sesuai Pasal 22 KK tentang pengakhiran kontrak, semua aset milik Freeport, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak di dalam wilayah operasi tambang, masih merupakan aset milik Freeport, bukan milik negara.
“Namun Freeport diwajibkan menjual aset tersebut kepada pemerintah sesuai harga pasar atau harga yang tidak boleh lebih rendah dari nilai buku,” ungkapnya.
Marwan Batubara menjelaskan, sebagian dari aset tersebut telah digunakan cukup lama, dan wajar jika nilainya pun telah terdepresiasi, jauh di bawah harga saat investasi awal, bukan malah terapresiasi seperti yang diinginkan Freeport. Sehingga wajar jika harganya lebih murah dibanding yang disebut Freeport bahwa mulai buku aset tersebut pada 2017 adalah US$ 6 miliar.
“Seandainya Freeport ingin mencari pembeli lain selain pemerintah Indonesia, maka kemungkinan harganya mencapai US$ 6 miliar sangat kecil karena dibutuhkannya biaya besar untuk kegiatan bongkar pasang dan instalasi,” paparnya.
Dengan demikian, harga 100% saham Freeport US$ 6 miliar merupakan hal absurd, terutama karena aset telah terdepresiasi dan adanya biaya ekstra untuk bongkar-muat dan instalasi ulang. Sehingga harga 100% saham yang dibayar pemerintah saat kontrak berakhir pada 2021 akan lebih rendah dari US% 2 miliar. Yang juga jadi masalah, mengapa pemerintah tunduk begitu saja dengan perhitungan harga mencapai US$ 6 miliar tersebut?.
Participating Interest Rio Tinto
Keempat, sesuai surat Menteri Pertambangan Energi, Panticipating Interest (PI) Rio Tinto dalam PTFI ternyata tidak meliputi operasi pertambangan dan pengolahan area kontrak Blok A. Padahal cadangan terbesar dan yang menjadi andalan PTFI adalah cadangan di Blok A, termasuk cadangan yang ada di bawah tanah.
Sementara itu, area tambang Blok B yang “dibeli” pemerintah, dinilai tidak ekonomis. Jika demikian halnya, maka PI Rio Tinto yang akan diambil Pemerintah Indonesia tidak layak secara keekonomian bisnis tambang. Padahal harga saham Rio Tinto yang dibayar pemerintah sangat mahal, yakni US$ 3,5 miliar. Jika demikian halnya, Indonesia telah tertipu atau pura-pura tidak tahu.[ES/IZ]