JAKARTA, (Panjimas.com) — Ketua Bidang Kajian Ghazwul Fikri dan Harakah Haddamah, Pusat Kajian Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Ustadz Dr. Teten Romli Qomaruddin turut angkat bicara mengenai polemik permasalahan Islam Nusantara yang sedang ramai diperbincangkan. Ia menuturkan ada hikmah yang dapat dipetik ditengah fenomena Islam Nusantara, bahwasanya perang istilah senantiasa dimainkan.
“Selalu ada hikmah yang bisa dipetik, pelajaran yang bisa kita dapatkan. Kini ke-Islaman di tanah air tengah diramaikan dengan fenomena “Islam Nusantara”. Artinya, kita menjadi paham bahwasanya perang pemikiran terus bergulir dan perang istilah (ma’rakah musthalahah) tengah dimainkan,” kata Dr. Teten Romli Qomaruddien saat ditemui panjimas di sela sela kegiatan Haflah Idul Fitri 1439 H DDII di Gedung Dewan Da’wah, Kramat Jakarta Pusat, Sabtu (14/07).
Pro dan Kontra pun tidak bisa dielakkan ketika istilah ini seolah mendapatkan justifikasi dari para pemangku kebijakan ; salah satunya pemimpin negeri ini yang menyampaikan pidatonya dalam Munas ‘Alim Ulama NU di Masjid Istiqlal Jakarta tertanggal 14/06/2015. “Islam kita adalah Islam nusantara, Islam yang penuh sopan santun, Islam yang penuh tata krama, itulah Islam nusantara, Islam yang penuh toleransi”, demikian petikan pidato Bapak Presiden Joko Widodo.
Hal ini sejalan dengan pidato pembukaan Ketua Umum PBNU Said Aqil Sirodj (dalam waktu yang sama) yang mengatakan “NU akan terus memperjuangkan dan mengawal model Islam Nusantara”. Dalam kesempatan yang berbeda, munculnya statemen Prof. Mahfud MD yang mengatakan: “Tugas kita dalam berdakwah dan mensyiarkan Islam sebagai Rahmatan lil Alamin adalah mengindonesiakan Islam dan bukan mengislamkan Indonesia.
Hujan tanggapan pun bercucur deras, bukan sekedar dari kalangan tokoh luar Nahdhiyin seperti Dr. Habib Rizieq Shihab, MA., Prof. Baharum dan tokoh-tokoh lainnya melainkan dari kalangan kritis internal sendiri; KH. Najih Maimun Zubair, KH. Lutfhi Bashori, KH. Muhammad Idrus Romli, Kyai Ahmad Kholili Hasib dan tokoh kritis lainnya.
Sebenarnya, hembusan wacana dan gagasan Islam Nusantara serta istilah lain yang semisal sudah menggema jauh sebelum Munas tersebut. Sebagai contoh, munculnya buku Islam Pribumi; Mendialogkan Agama Membaca Realitas yang diberikan pengantar Dr. Moeslim Abdurrahman. Menurutnya, buku tersebut “Mewakili arus baru pemikiran Islam, yang kini sering diberi label tentang munculnya kembali Islam Liberal atau kelompok Islam Progresif”.
Masih menurut Dr. Romli Qomaruddin, “Dialog Islam terbuka ini meliputi perbincangan yang peka dan menarik; karena mereka umumnya membahas substansi tentang penolakan teokrasi dan pelaksanaan syari’ah yang ekslusif, hak-hak orang non-muslim, kesetaraan perempuan dalam Islam, kebebasan berfikir, dan soal modernitas.
Adapun keseluruhan dari semangat pemikiran mereka tidak lain karena kegelisahan intelektualnya bagaimana mendefinisi konsep-konsep Islam yang kini telah diwarisi agar ditemukan kerangka baru kehidupan Islam yang lebih aktual”. Para penulis yang terlibat dalam buku tersebut adalah: Ahmad Baso, Badriyah Fayumi, Khamami Zada, M. Imdadun Rahmat, Rumadi, Ulil Abshar Abdalla dan Zuhairi Misrawi.
Istilah lainnya “Meng-Indonesiakan Islam”, sebagaimana ditulis oleh Dr. Mujiburrahman Mengindonesiakan Islam; Representasi dan Ideologi diberikan pengantar oleh Prof. Dr. Karel A. Steenbrink (Guru Besar Universitas Utrecht Belanda) yang menggiring kepada semangat kebhinekaan Indonesia meniscayakan Islam lebur dan berinteraksi dengan konteks keindonesiaan.
Tentunya Islam Indonesia ini dikecualikan dari hal-hal yang sifatnya ibadah mahdhah, tapi garapannya lebih pada hal-hal yang sifatnya mu’amalah yang merupakan lapangan ijtihad dan kontekstual. Namun demikian, penulis pun begitu sangat “mewaspadai” akan bahayanya fundamentalisme yang menurutnya merupakan problem yang dihadapi selama ini dalam menggulirkan Islam progresif, kritis dan toleran.
“Setelah mewacanakan “Islam Pribumi” dan “Meng-Indonesiakan Islam”, kini seolah-olah istilah “Islam Nusantara” menjadi pilihan yang layak dipopulerkan, sekalipun sangat rawan perdebatan (debatable). Padahal apabila ditelisik, istilah “Islamisasi Nusantara”, “Nusantara Islami” atau “Islam di Nusantara” jauh lebih menyejukkan dan menyejarah ketimbang menjadikan kata “Nusantara” menjadi sifat dari Islam. Mensifatkan “Nusantara” secara langsung terhadap Islam, sudah tentu dapat melahirkan problem dan dilema Istilah yang membahayakan dan mengaburkan,” ujar Ketua Bidang Kajian Ghazwul Fikri dan Harakah Haddamah, Pusat Kajian DDII ini.
Di antara para pengusung Islam Nusantara ini, ada yang melakukan dengan penggiringan kemanusiaan dan sejarah yang menggambarkan Indonesia sebagai panggung interaksi lintas agama dan lintas kultur.
Pandangan ini, dipegang oleh Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif dengan Maarif Institut nya yang menyebutkan: Sebagai penduduk mayoritas nusantara, semestinya tidak lagi mempersoalkan hubungan Islam, keindonesiaan dan kemanusiaan. Ketiga konsep itu haruslah senafas agar Islam yang berkembang di Indonesia adalah sebuah Islam yang ramah dan terbuka.
Tulisan yang memuat sebagian tokoh-tokoh populer dua ormas besar di tanah air (Muhammadiyah dan NU) menunjukkan adanya perkembangan baru bahwa “kecocokkan” cara pandang dan pola beragama sudah terwakili oleh keduanya sekalipun kesimpulan ini nampak dipaksakan dan menciderai sejarah.
Hal ini bisa dilihat dari cara pandang Syafii Maarif yang mengatakan : “Islam Nusantara yang arus besarnya diwakili oleh NU dan Muhammadiyah dengan segala kekurangan disana sini telah memainkan peranan besar bagi gerakan Islam moderat, modern, terbuka, inklusif, dan konstruktif, dengan senantiasa secara cermat dan cerdas dengan mempertimbangkan realitas sosio-historis Indonesia.
Bagaikan gayung bersambut, ungkapan tersebut ada kesamaan dalam hal pengakuan identitas (claim identity) dengan hasil penelitian Ikatan Sarjana Nahdhatul Ulama (ISNU) yang menyebutkan: “Indonesia sebagai bagian dari komunitas muslim dunia memiliki semua syarat untuk menjadi kandidat pemimpin kebangkitan Islam dunia.
Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, sumber daya manusia yang semakin menjanjikan dengan munculnya tunas-tunas ilmuwan baru yang memenangi olimpiade dunia dan memiliki karakteristik Islam yang moderat. Indonesia memiliki organisasi Islam terbesar yang menyangga basis kebhinekaan Nusantara, yaitu Nahdhatul Ulama (NU).
“Sungguh istilah “Islam Nusantara” dengan segala problematikanya telah berubah menjadi prahara cara pandang beragama yang mengkhawatirkan,” pungkas Ustadz Dr. Romli Qomaruddien.[ES/IZ]