JAKARTA, (Panjimas.com) — Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Drajad Wibowo menyatakan pencitraan atas pengumuman hasil negosiasi dengan Freeport Indonesia (FI), sangat berlebihan. Karena faktanya transaksi ini masih jauh dari tuntas.
“Saya mendukung penuh usaha pemerintah mengambil alih saham mayoritas Freeport. Yang saya kritisi adalah pencitraan dan pembodohan rakyat yang kelewatan,” ujar Dradjad Wibowo melalui siaran persnya, Jumat (13/07).
Drajad Wibowo yang juga merupakan anggota Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional yakin Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin mati-matian mencari deal terbaik bagi Indonesia. Atas dasar itu, ia mengaku pendukung penuh usaha Pemerintah mengambil alih saham mayoritas Freeport. Sayangnya, menurut dia pencitraan yang dilakukan oleh oknum pemerintah sangat kelewatan.
Menurut Drajad ada berbagai fakta menarik terkait kesepakatan Inalum dan FI.
Pertama, menurut dia, lebih pada soal harga. Tiga pihak, yaitu Indonesia (pemerintah dan Inalum), Freeport-McMoRan Inc (FCX) dan Rio Tinto sepakat pada harga 3,85 miliar dolar AS, atau sekitar Rp 55 triliun. Ini adalah harga bagi pelepasan hak partisipasi Rio Tinto, plus saham FCX di FI.
Rio Tinto terlibat dalam negosiasi melakukan usaha joint venture dengan FCX. Di mana hingga 2021 dia berhak atas 40 persen dari produksi di atas level tertentu dan 40 persen dari semua produksi sejak 2022.”Gampangnya, meskipun FCX pemilik mayoritas FI, tapi 40 persen produksinya sudah di-ijon-kan ke Rio Tinto. Jadi selain saham FCX di FI, Indonesia juga harus membeli hak ijon ini,” pungkasnya.
Kedua, Indonesia belum merebut kembali Freeport seperti klaim bombastis yang beredar. Kepada media asing seperti Bloomberg dan lainnya, pihak FCX dan Rio Tinto menyebut, masih ada isu-isu besar yang belum disepakati.
“Dalam berita Bloomberg, Rio secara resmi menyatakan “Given the terms that remain to be agreed, there is no certainty that a transaction will be completed”. Jadi, masih belum ada kepastian bahwa transaksinya akan tuntas,”
Ia mengatakan masih ada isu besar yang dipertanyakan Freeport. (a) hak jangka panjang FCX di FI hingga tahun 2041, (b) butir-butir yang menjamin FCX tetap memegang kontrol operasional atas FI, meskipun tidak menjadi pemegang saham mayoritas, dan (c) kesepakatan tentang isu lingkungan hidup, termasuk tentang limbah tailing.
Ketiga, imbuhnya, terkait kesepakatan harga ia menilik dari fakta bahwa IUPK sementara (Ijin Usaha Pertambangan Khusus) bagi FI habis pada 4 Juli 2018. Melalui revisi SK Nomor 413K/30/MEM/2017, IUPK diperpanjang hingga 31 Juli 2018. Sejak 2017, IUPK ini sudah berkali-kali diperpanjang.
Keempat, ia mengaku belum bisa memastikan kemungkinan mahalnya tidak atau tidak. Tapi yang jelas, sejak lama Rio Tinto pasang harga di 3,5 miliar dolar AS. “Tidak mau nego, Indonesia akhirnya menyerah, terima harga 3,5 miliar dolar AS, ditambah 350 juta dolar AS bagi FCX,” ucapnya.
Sebagai perbandingan, pada 1 November 2013 Indonesia “merebut kembali” Inalum dari Jepang. Pihak Jepang, yaitu NAA (Nippon Asahan Aluminium) ngotot dengan harga 626 juta dolar AS sementara pemerintah 558 juta dolar AS. Jadi ada selisih 68 juta dolar AS dan akhirnya Jepang takluk.
“Mungkin memang lebih mudah mengalahkan Jepang dibandingkan “koalisi” dari AS, Inggris dan Australia,” ungkapny, dikutip dari Republika.
Kelima, sebagai catatan, aset Inalum saat ini sekitar Rp 90 triliun. Dengan kesepakatan harga 3,85 miliar dolar AS, transaksi ini nilainya setara 61 persen aset Inalum.
“Saya ingatkan, jangan sampai Inalum over-stretched, yang bisa menjadi masalah besar di kemudian hari, Berdasarkan fakta di atas, jelas bahwa Freeport belum “direbut kembali”. Transaksi belum terjadi karena ada isu-isu besar yang belum tuntas. Itu pun Indonesia nerimo saja harga yang dipatok oleh Rio Tinto. Jika transaksinya terwujud nanti, Indonesia harus membayar Rp 55 triliun. Tapi, FCX ngotot kontrol operasional tetap mereka yang pegang,” tandasnya.[IZ]