JAKARTA, (Panjimas.com) — Dalam enam bulan terakhir sejak awal tahun 2018 ini Harga BBM telah mengalami kenaikan sebanyak lima kali. Mengomentari kebijakan ini, Wakil Ketua DPR RI Bidang Korpolkam Fadli Zon menilai Pemerintahan Jokowi seharusnya tidak membiarkan masyarakat diombang-ambingkan dengan fluktuasi harga pasar.
“Dalam enam bulan terakhir saya mencatat sudah lima kali harga BBM dinaikkan. Tapi kenaikan itu tak ada polanya. Dulu pemerintah menyatakan akan meninjau harga jual BBM setiap tiga bulan sekali. Sekarang yang terjadi tiap bulan bisa terjadi kenaikan harga BBM. Bahkan, pada rentang 13 Januari hingga 24 Februari lalu, tiap minggu ada kenaikan harga BBM,” ujar Fadli Zon, saat menanggapi kenaikan harga BBM non-subsidi per 1 Juli 2018 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (04/07).
Menurutnya Harga BBM, berdampak langsung terhadap harga transportasi, harga listrik, harga gas, biaya logistik, dan pada akhirnya berimplikasi terhadap kantong masyarakat secara umum.
“Ini bukan masalah kelas, ini adalah masalah publik di mana pemerintah tak boleh lepas tangan atau pura-pura tidak paham,” tandas Wakil Ketua Umum DPP Partai GERINDRA ini.
Fadli memperingatkan agar pemerintah tidak lepas tangan dan membiarkan rakyat menanggung risiko dampak sosial dan ekonomi dari kenaikan BBM ini
“Jangan biarkan masyarakat dipaksa menanggung sendiri risiko perekonomian global. Jangan sampai orang kemudian bertanya: apa gunanya negara jika kebijakan tergantung mekanisme pasar internasional”, tegas Fadli.
Pemerintah Tak Boleh Lepas Tangan
“Sejak lahirnya Peraturan Presiden (Perpres) No. 191/2014, fungsi kontrol DPR atas kebijakan harga BBM juga sudah diamputasi oleh pemerintah. DPR hanya dibutuhkan persetujuannya jika terkait penetapan harga Premium saja, sementara untuk penetapan harga BBM jenis lain semuanya kini diputuskan sepihak oleh pemerintah. Khusus BBM non-subsidi, penetapan harganya bahkan langsung diserahkan ke Pertamina, seolah tak lagi diatur oleh pemerintah,” ujarnya menerangkan.
Fadli menuturkan coba saja baca Peraturan Menteri ESDM Nomor 34 tahun 2018, yang menyebutkan jika badan usaha, tak terkecuali Pertamina, kini tak perlu mendapatkan persetujuan pemerintah untuk menentukan harga BBM kategori umum, termasuk kenaikannya. Badan usaha hanya perlu melaporkan harga itu kepada Menteri ESDM melalui Direktur Jenderal Migas.
“Ini adalah bentuk lepasnya campur tangan pemerintah”, ujarnya.
“Padahal, merujuk kepada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 002/PUU/1/2003, yang membatalkan Pasal 28 UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, cukup jelas jika penetapan harga BBM tak boleh diserahkan pada mekanisme pasar. Sebagai komoditas strategis, harga BBM harus diatur oleh pemerintah. Sehingga, membiarkan harga BBM diombang-ambingkan fluktuasi pasar tidaklah dibenarkan,” jelasnya.
“Menurutnya, biang masalahnya adalah Perpres No. 191/2014 tadi. Sesudah Perpres itu lahir, seolah-olah yang disebut BBM hanya tinggal minyak tanah, premium dan solar saja, sementara Pertamax, Pertamax Turbo, Pertalite, Pertamina Dex, atau Dexlite, bukan lagi dianggap ‘BBM’. Persepsi itu tentu saja keliru”, demikian papar Fadli.
Kebijakan Pemerintah Soal BBM Tak Berpola
Ia pun menegaskan kebijakan pemerintah terkait BBM tak memiliki pola, bahkan terkesan serabutan.
“Saya menilai, kebijakan pemerintah terkait BBM ini memang tak ada polanya. Serabutan. Dengan Perpres No. 191/2014, pemerintah sebenarnya ingin melepaskan harga BBM pada mekanisme pasar. Itu sebabnya distribusi premium kemudian dibatasi dan dibuat langka, khususnya di Jawa, Madura dan Bali. Buntutnya, menurut data BPH Migas, ada sekitar 1.926 SPBU di Pulau Jawa, Madura dan Bali yang tidak lagi menjual Premium,” pungkasnya.
Fadli melanjutkan paparannya, Bukan hanya membuat langka Premium, pemerintah bahkan sempat mewacanakan menghapus Premium dan menggantinya dengan Pertalite, jenis BBM yang hingga kini tak pernah jelas formulasi harganya. Namun akhirnya, baik Premium maupun Pertalite masih sama-sama dibiarkan eksis.
“Anehnya, menjelang mudik kemarin, aturan pembatasan distribusi Premium tadi diubah lagi oleh Perpres No. 43/2018. Kini SPBU di Jawa, Madura, dan Bali boleh kembali menjual Premium. Jadi, sekali lagi kebijakan pemerintah terkait BBM ini tak jelas, tak konsisten dan tak terencana dengan baik. Tak ada ucapan pemerintah yang bisa dipegang oleh kita hari ini,” ungkapnya.
Fadli pun mendesak adanya intervensi pemerintah terhadap semua jenis BBM.
“Artinya, harus ada intervensi pemerintah terhadap semua jenis BBM, bukan hanya Solar, Premium, dan minyak tanah saja. Sebab, keliru besar jika soal harga BBM ini hanya didudukkan dalam kacamata kelas sosial, seolah ada BBM khusus bagi orang miskin, dan ada BBM untuk orang mampu. Pandangan semacam itu, selain menyesatkan juga bisa blunder, karena harga BBM secara umum merupakan komponen inflasi yang punya daya tekan kuat terhadap daya beli masyarakat. Efek dominonya sangat luas,” pungkas Fadli Zon.[IZ]