JAKARTA, (Panjimas.com) — Semakin berlanjutnya kemerosotan nilai tukar rupiah hingga menembus angka Rp14.404 per dolar Amerika Serikat pada perdagangan Jumat (29/06) siang turut menjadi perhatian Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon. Ia menilai pemerintah dan otoritas moneter harus mencari jalan keluar yang kreatif untuk mengatasi krisis nilai tukar tersebut.
“Kita memang pantas khawatir, sebab nilai tukar rupiah terus menurun meskipun Bank Indonesia telah melakukan intervensi pasar. Kita tak bisa terus-menerus menguras cadangan devisa untuk menolong rupiah. Seperti kemarin juga diingatkan oleh Pak Prabowo, cadangan devisa kita saat ini sangat kecil,” ujarnya dalam keterangannya Jumat (29/06).
Walaupun indikator perekonomian tidak menunjukkan gejala membaik, kita belum mendengar pemerintah menjelaskan langkah-langkah untuk mencegah terjadinya krisis. Pemerintah malah sibuk menyiapkan pesta untuk menjamu IMF dan Bank Dunia di Bali.
“Sungguh ironis, saat kurs sedang meluncur ke kisaran Rp15 ribu, dan proyeksi pertumbuhan ekonomi bisa jatuh di bawah angka 5%, defisit APBN menyentuh limit 3%, pemerintah Indonesia malah sibuk menyiapkan jamuan bagi 15 ribu orang yang memboroskan anggaran hingga Rp850 miliar itu. Di tengah jargon Revolusi Mental, sikap pemerintah semacam ini justru memperlihatkan mental seorang inlander”, dikutip dari SINDOnews.
Sejak Februari lalu, kita sudah menghabiskan USD9,08 miliar cadangan devisa. Ujungnya, per bulan Mei kemarin, cadangan devisa kita tinggal USD122,9 miliar. Padahal Februari lalu, jumlahnya masih USD131,98 miliar. Artinya, pemerintah dan otoritas moneter perlu segera mencari jalan keluar lain untuk mengatasi krisis nilai tukar tersebut, tak bisa terus-menerus menggunakan cara konvensional untuk mengintervensi pasar.
Selain karena faktor global, jebloknya nilai tukar rupiah ini salah satunya dipicu oleh tingginya tingkat ketergantungan kita terhadap impor, investasi asing, dan juga utang. Sehingga setiap kali kita impor, membayar dividen, atau membayar bunga dan cicilan utang, selalu terjadi tekanan terhadap nilai tukar rupiah.
“Inilah poin yang kemarin diingatkan oleh Ketua Umum Partai Gerindra, Pak Prabowo, soal bahayanya perekonomian yang ditopang oleh utang. Per 30 April 2018, posisi utang pemerintah sudah mencapai Rp4.180,61 triliun. Dari jumlah tersebut, 41% di antaranya berdenominasi valuta asing (valas), baik dalam bentuk pinjaman, SBN (Surat Berharga Negara), maupun SBN Syariah”, paparnya.
Dengan komposisi utang valas yang demikian besar, maka pembayaran beban utang, baik cicilan jatuh tempo maupun bunga, tentunya terikat pula dengan mata uang asing. Ada tiga mata uang asing yang mendominasi utang kita, yaitu dolar AS, yen, dan euro. Sehingga dampak dari pelemahan rupiah terhadap sejumlah mata uang asing utama pasti akan menambah jumlah utang dalam rupiah dan menambah beban yang harus dipikul APBN.
“Dalam catatan saya, jika disetarakan, jumlah utang kita dalam bentuk valas ekuivalen dengan USD109,6 miliar. Sehingga setiap kali nilai tukar rupiah terdepresiasi Rp100, maka jumlah utang kita akan naik lebih dari Rp10 triliun. Semakin besar depresiasinya, jumlah nominal yang harus kita bayar juga menjadi semakin besar,” pungkasnya.
Itu baru bab utang pemerintah, belum lagi jika kita membahas utang sektor publik secara keseluruhan yang hampir Rp9.000 triliun. Atau jika kita ikut memperhitungkan utang swasta yang per Februari 2018 sudah mencapai Rp2.351,7 triliun. Besar sekali risiko yang bisa kita terima akibat depresiasi nilai tukar ini. Pada saat krisis 1997/1998, kita banyak sekali kehilangan aset -aset strategis gara-gara krisis utang ini.
Oleh karena itu, di tengah depresiasi rupiah yang terjadi terus-menerus, pemerintah tak lagi bisa berdalih jika utang Indonesia saat ini berada pada kondisi yang aman. Dalih itu membohongi diri sendiri. Apalagi kalau ada yang mengatakan penyesuaian normal, mesti orang itu benar-benar tidak bertanggung jawab. Jika nilai tukar rupiah sampai tembus lebih dari Rp14.500, saya kira kita harus kembali bersiap menghadapi krisis ekonomi. Malah sekarang ini bisa dikategorikan awal krisis.
Apalagi, pada saat bersamaan, neraca perdagangan dan neraca pembayaran kita posisinya juga tak bagus. Dalam periode Januari hingga Mei 2018, empat kali kita mengalami defisit neraca perdagangan. Pada Januari, kita mengalami defisit USD760 juta, Februari defisit USD50 juta, April defisit USD1,63 miliar, dan Mei kemarin, kita defisit USD1,52 miliar. Ini adalah rekor terburuk sejak 2013.
Pada saat bersamaan, pada kuartal I 2018, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) juga tercatat defisit USD3,8 miliar. Di periode yang sama, defisit transaksi berjalan (current acount deficit/CAD) juga mencapai USD5,5 miliar. Sebagai catatan, selama lebih dari satu dekade terakhir, NPI tercatat mengalami defisit itu hanya pernah terjadi pada tahun 2008, 2013 dan 2015. Dan hanya pada tahun 2013 yang nilainya mencapai USD7,32 miliar. Ini bukan kondisi yang menyenangkan.[IZ]