SOLO, (Panjimas.com) — Menanggapi polemik mengenai isu radikalisme kampus, dan buntutnya yakni kerjasama pengawasan dengan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terrorisme) terhadap kampus, Ketua Komisi I DPR RI, Dr. Abdul Kharis Almasyhari, M.Si menegaskan bahwa rencana Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir yang akan mengawasi nomor handphone Dosen dan mahasiswa serta akun media sosialnya sebagai suatu tindakan yang berlebihan.
“Jangan menganggap mahasiswa sebagai musuh”, pungkas Abdul Kharis Almasyhari menanggapi pernyataan BNPT yang menyebut 39% mahasiswa di sejumlah perguruan tinggi terpapar paham radikalisme.
“Kalau dianggap musuh mereka anak muda yang sedang berlebih tenaga dan potensinya itu malah akan jadi liar jadi pendekataanya harus lebih edukatif dan merangkul mahasiswa bukan dijadikan musuh. Kalau mahasiswa dijadikan musuh, maka selamanya mahasiswa akan menang,” ujarnya.
Saat panjimas.com menyambangi kediamannya di Totoasari, Laweyan Solo, Selasa malam (12/06) lalu, Abdul Kharis mengingatkan Menristekdikti Mohammad Nasir seharusnya fokus pada peningkatan mutu pendidikan di Indonesia, agar mampu bersaing di kancah dunia internasional.
“Itu lebay, pak menteri lebay, sekarang ini permasalahannya pak menteri fokus untuk meningkatkan kemampuan akademik perguruan tinggi Indonesia untuk menembus rangking 500 besar dunia,” pungkasnya kepada panjimas.com
“Jangan malah mau ngawasi sosial media segala macem, saya rasa itu lebay pak menteri, jadi sebaiknya fokus saja bagaimana perguruan tinggi bisa berprestasi, mencapai peringkat 500 dunia, fokus kesitu saja,” tegasnya.
Ia menilai sikap semacam itu muncul akibat gagalnya Menristekdikti dalam meningkatkan kualitas mutu pendidikan di Indonesia. “Jangan karena prestasi tak kunjung tercapai malah yang dikerjakan yang lain, itu namanya gagal fokus,” paparnya.
Pendekatan Persuasif dan Mendidik
Abdul Kharis menghimbau agar kampus dapat melakukan pendekatan persuasif kepada mahasiswa yang dianggap terpapar radikalisme. “Jadi saya tidak sepakat kalau mahasiswa dijadikan musuh. Dan harus dirangkul oleh dosen dan pejabat kampus, jangan melibatkan orang luar,” jelasnya.
“Karena dari dulu namanya mahasiswa perlu diberi independensi kampus, kampus diberi pesan oleh mereka arahkan yang benar mudah mudahan dapat diatasi dengan baik,” tandasnya.
Lebih lanjut, Abdul Kharis menuturkan pendekatan pendidikan juga perlu dilakukan untuk menangani mahasiswa yang terpapar radikalisme.
“Dan kalau memang betul terjadi radikalisme di kampus maka dosen dan rektor dalam hal ini harus dilibatkan, pendekatannya bukan keamanan tapi pendekatan pendidikan, saya lebih menghimbau pada rektor dan dosen untuk turun merangkul mahasiswa jangan dianggap musuh dan mereka harus dirangkul,” pungkasnya.
Sebagaimana diketahui, Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir mengungkapkan, akan melakukan monitoring kepada para dosen dan mahasiswa menyusul maraknya temuan radikalisme di kampus. Salah satu pengawasan yang akan dilakukan yaitu dengan mendata nomor handphone (HP) dan akun media sosial milik dosen dan mahasiswa.
“Kami lakukan pendataan. Dosen harus mencatat nomor hp yang dimiliki. Mahasiswa medsosnya dicatat. Tujuannya agar mengetahui lalu lintas komunikasi mereka itu seperti apa dan dengan siapa,” jelas Nasir di Hotel Fairmont Jakarta, Senin (04/06) lalu.
Nasir mengatakan, pendataan tersebut bukan bermaksud untuk merenggut hak privasi dosen, mahasiswa dan semua sivitas kampus. Kendati begitu, dia memastikan, bentuk pengawasan tersebut mesti dilakukan demi terwujudnya kampus yang steril, bersih dan aman dari segala bentuk paham radikal.[IZ]