SOLO, (Panjimas.com) — Menanggapi polemik mengenai isu radikalisme kampus yang dipicu oleh pernyataan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terrorisme), Ketua Dewan Syariah Kota Surakarta (DSKS), Dr. Muinudinillah Basri, MA menegaskan bahwa pernyataan BNPT yang menyebut sejumlah kampus di Indonesia terpapar Radikalisme, makin menunjukan kebenciannya terhadap agama Islam.
“Tuduhannya gak mendasar, tujuannya menunjukan kebencian kepada umat Islam,” ujarnya usai Tabligh Akbar “Indonesia Berdzikir” di Karanganyar, Sabtu malam (09/06).
Institusi pendidikan di Indonesia seperti kampus memang harus di isi oleh orang-orang yang mempunyai pemahaman agama yang baik. Dengan begitu, perbaikan akan rusaknya generasi muda ke depan akan tercipta di Indonesia.
“Kampus harus kita selamatkan dengan dukungan orang yang beragama, kalau Radikal bukan dari kampus,” tegasnya.
Dr Muinidinillah Basri juga membantah pernyataan bahwa orang yang mengamalkan Islam secara kaffah itu berpaham radikalisme. “Ya gak mungkin, dimana letak radikalisme itu, radikal terhadap agama itu kan memang harus,” ujarnya.
Sebelumnya, BNPT merilis hasil penelitian bahwa ada tujuh kampus perguruan tinggi negeri menjadi tempat berkembangnya radikalisme.
Ketujuh kampus tersebut yakni Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), IPB, Universitas Diponegoro (Undip), Institut Teknologi 10 Nopember (ITS), Universitas Airlangga (Unair), serta dan Universitas Brawijaya (Unbraw).
Berbagai pihak kemudian mempertanyakan data yag dirilis BNPT, mengenai berapa temuan dan bagaimana metode yang dipilih.
Tuduhan BNPT ini pun dinilai sebagai stigmatisasi dan generalisasi terhadap masalah-masalah yang ada. Ketua PP Muhammadiyah, Dr. Haaedar Nashir sebelumnya saat ditemui panjimas.com memperingatkan agar isu radikalisme kampus ini jangan digebyah uyah dan digeneralisasi.
“Penanganan radikalisme di kampus, jangan digebyah uyah, jangan digeneralisasi”, ujar Haedar Nashir kepada panjimas.com, usai mengisi Tabligh Akbar bertajuk “Spirit Ramadhan Untuk Indonesia Berkemajuan” di Masjid Sudalmiyah Rais, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Rabu malam (06/06/2018)
Ia menilai semua pihak harus betul-betul seksama dalam memandang isu ini dan penangananya tidak boleh “gebyah uyah”. “Kita baik di lingkungan perguruan tinggi, kemenristekdikti, maupun di lembaga negara sampai komponen bangsa perlu lebih seksama dengan isu dan wacana sekaligus kesimpulan mengenai radikalisme di dalam kampus”, jelasnya.
Haedar juga mengingatkan bahwa jangan menggeneralisasi dan jangan mudah mengambil kesimpulan, “Sebab kalau digeneralisasi, nanti kesimpulannya kampus sebagai sarang radikal,” pungkasnya.[IZ]