JAKARTA, (Panjimas.com) – Setelah sukses dengan simposium pertama, Symposium on Global Halal Research (GHR) pada 2014 lalu, LPPOM MUI kembali menyelenggarakan Simposium kedua pada 30 September 2015 dalam rangkaian agenda Pameran Halal, Indhex 2015 di Jakarta International Expo.
Mengusung tema, “Innovation and Technological Challenges to Meet The Halal Requirements: Industry and Scientific Perspective”, simposium ini melibatkan peranserta para peneliti, dosen-akademisi, kalangan industri dan profesional untuk berbagi pengetahuan dan hasil penelitian, serta memberikan kontribusi guna menggali dan mengembangkan teknologi serta kesadaran konsumen. Demikian dikemukakan Ir. Muti Arintawati, M.Si., Wakil Direktur LPPOM MUI dalam kata pengantar pada pembukaan simposium.
“Dan yang lebih penting lagi adalah aplikasi dari hasil-hasil penelitian yang terkait dengan persyaratan halal bagi konsumen Muslim,” tuturnya menandaskan.
Sementara itu seperti dilansir dari laman halalmui Sabtu, (3/10) Sebagian dari hasil-hasil simposium ini, jelasnya lagi, akan dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah-Akademik, “Journal of Halal Research”. Jurnal ini diterbitkan oleh LPPOM MUI secara rutin dua kali setiap tahun.
Dengan topik makalah “Halal Assurance System in Research, Development and Manufacturer of Bio-active Pharmaceutical Ingredient at DLBS (Sistim Jaminan Halal penelitian, pengembangan dan produksi bahan bio-aktif farmasi di Perusahaan Farmasi DLBS)” Wangsa T. Ismaya dari Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences (DLBS) memaparkan fokus penelitian, pengembangan dan produksi bahan bio-aktif farmasi untuk obat-obatan yang sejalan dengan kaidah halal, sesuai dengan manual Sistim Jaminan Halal (SJH) yang telah dibuat oleh perusahaannya.
“Implementasi SJH itu merupakan komitmen perusahaan dalam memberikan service excellent, dengan menghasilkan produk farmasi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Muslim,” tuturnya.
Memang diakuinya, ada beberapa titik kritis terkait masalah halal ini, baik dalam aspek bahan baku material maupun proses produksi obat-obatan. Namun diakui, riset yang dilakukan dan dipaparkan ini baru merupakan langkah awal. Sangat diharapkan permasalahan yang mengemuka itu dapat dicari solusinya dengan riset-riset lanjutan yang lebih mendalam. Sehingga produk yang dihasilkan dapat memenuhi kaidah halal secara total, memenuhi ketentuan farmasi yang berlaku, dan dapat diproduksi secara efisien.
Menepis Anggapan Produk Obat-Obatan tidak Perlu Kaidah Halal
Dengan paparan yang diberikan, riset bidang farmasi ini terbukti dapat menepis anggapan sebagian kalangan yang mengatakan produk obat-obatan farmasi tidak perlu kaidah halal, karena dianggap termasuk kategori darurat.
Dalam presentasinya, “Halal Requirements in Fragrance: Challenges and Opportunities”, Paulus J. Rusli Ketua Asosiasi Flavor & Fragrance Indonesia (AFFI) mengemukakan, lebih dari 3000 bahan baku dipergunakan dalam menghasilkan flavor dan fragrance. Sehingga menjadi tantangan tersendiri untuk menghasilkan produk yang halal dengan implementasi SJH sebagaimana dipersyaratkan dalam proses sertifikasi halal oleh LPPOM MUI.
Namun yang jelas, pimpinan International Fragrance Research Association (IFRA) Asia-Pacific Regional Committee ini menyatakan pula, “Realitas menunjukkan, pemintaan akan produk flavor dan fragrance yang halal terus makin meningkat waktu ke waktu. Sehingga hal ini makin memacu kami untuk melakukan riset berkelanjutan agar dapat menghasilkan produk yang halal sesuai dengan ketentuan MUI.”