BOGOR, (Panjimas.com) – Di dalam Al-Quran disebutkan dengan jelas dan eksplisit keharaman darah untuk dikonsumsi. Perhatikanlah makna ayat, diantaranya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tecekik, yang dipukul, yang jatuh ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali kamu sempat menyembelihnya.” (Q.S. Al-Maidah [5]: 3).
Namun dalam penyembelihan hewan yang sesuai kaidah syariah, mungkin saja masih ada darah yang tak keluar sempurna. Dalam hal ini, tidak ada ketentuan untuk mengeluarkan-membersihkan darah yang tersisa di dalam bagian-bagian daging dari hewan yang disembelih itu, misalnya, dengan cara daging itu harus diperas sedemikian rupa. Menurut para Fuqoha (ahli Fiqh), darah yang tersisa di dalam bagian-bagian daging itu dimaafkan, dan tidak terlarang kalau dikonsumsi. Demikian dikemukakan Wakil Direktur LPPOM MUI, Ir. Muti Arintawati, M.Si., pada pembukaan Pelatihan Sistim Jaminan Halal (SJH), Selasa, (18/8) di Bogor. Seperti dilansir halalmui.
Tidak Boleh Dimanfaatkan untuk Konsumsi Manusia
Selanjutnya, ia menambahkan, darah dari hasil penyembelihan itu tidak boleh dimanfaatkan untuk konsumsi manusia, baik dikonsumsi secara langsung maupun tidak langsung. Seperti melalui proses pengolahan industri bahan makanan maupun farmasi (obat-obatan).
“Sesuai dengan ketentuan nash dari Al-Quran itu, maka haram hukumnya memanfaatkan daerah yang sengaja ditampung dari hasil penyembelihan,” tegasnya, dalam paparannya di hadapan 46 peserta pelatihan yang dilangsungkan di gedung Global Halal Centre (GHC) Bogor.
Hal ini perlu diingatkan kembali, ia menjelaskan lagi, karena dalam prakteknya, ada beberapa usaha pemotongan hewan sapi, kambing atau bahkan ayam, yang sengaja menampung darah dari hasil penyembelihan. Darah itu kemudian dimanfaatkan untuk konsumsi. Di beberapa daerah, darah hewan dari penyembelihan ditampung lalu dibekukan menggunakan cetakan khusus , diolah secara tradisional untuk konsumsi, disebut “Dideh”, “Warus” atau juga “Marus”. Selintas marus ini terlihat seperti ati sapi yang halal dikonsumsi. Masyarakat di Bali sering mencampurkan darah hasil dari menyembelih ayam atau sapi dalam satu jenis makanan yang disebut “lawar”.
Ada pula usaha pengolahan darah itu dengan proses industri modern. Misalnya diolah menjadi produk semacam tepung darah untuk obat-obatan, vitamin penambah darah atau makanan suplemen. Dengan ketentuan nash yang jelas itu, maka diingatkan bersama bahwa semua produk yang menggunakan bahan dari darah itu haram hukumnya untuk dikonsumsi.