MALANG (Panjimas.com) – Walau Kota Malang sudah mempunyai Peraturan Daerah (Perda) yang membatasi peredaran dan konsumsi Minuman Keras (Miras), tetapi hingga saat ini peredaran miras masih saja leluasa dan bisa dibeli siapa saja dan di mana saja. Baru-baru ini, tepatnya April 2014 lalu, sembilan orang tewas setelah pesta miras. Resah dengan kondisi ini, hari ini (16/11) warga Malang mendeklarasikan gerakan anti miras untuk mengkampanyekan bahaya miras, tidak hanya bagi kesehatan tetapi juga bagi kemanusian.
Ketua Umum Gerakan Nasional Anti Miras (GeNAM) Fahira Idris mengatakan, Malang adalah salah satu dari ratusan kota di Indonesia yang warganya resah terhadap maraknya peredaran dan konsumsi miras.
“Saya sering menerima aduan dari warga Malang, kalau mereka masih sering melihat orang mabuk-mabukan di sembarang tempat, dari pinggir jalan hingga di gang-gang sempit kampung, apalagi jika ada pesta seperti kawinan,” ujar Fahira.
Menurut Fahira, sebenarnya Malang sudah mempunyai Perda Nomor 5 Tahun 2006 tentang pengawasan, pengendalian dan pelarangan penjualan minuman beralkohol, tetapi selama hampir delapan tahun, tidak ada penegakan hukum yang berarti jika ada warga maupun badan usaha yang melanggar perda ini.
Perda Miras Kota Malang ini sendiri secara tegas menyatakan miras semua jenis hanya bisa dijual dan dikonsumsi di hotel berbintang minimal bintang 3, restoran dengan tanda talam kencana dan talam selaka, bar, pub dan klab malam. Sanksi bagi yang melanggar juga cukup tegas yaitu berupa denda sampai Rp50 juta atau kurungan penjara.
Fahira menyakini, jika disurvei, sebagian besar masyarakat Kota Malang tidak tahu bahwa sebenarnya ada aturan yang melarang menjual dan mengonsumsi miras sembarangan. “Ini (menyosialisasikan Perda Miras) sebenarnya tugas pemerintah kota. Tetapi saya banyak dapat laporan, perda ini seperti diabaikan. Jangankan penegakan hukum, upaya pencegahan peredaran miras seperti razia sangat minim,” tukas Anggota DPD RI ini.
Padahal kita tahu, lanjut Fahira, gesekan antarwarga yang berujung ke tawuran, salah satu penyebab utamanya adalah miras. “Seharusnya, Pemerintah Kota Malang sadar kalau miras itu penyakit sosial. Tidak hanya merusak kesehatan, miras juga biang masalah sosial. Saya berharap kejadian kemarin (sembilan orang tewas) jadi yang terakhir. Ini tidak akan terjadi jika perda miras dijalankan,” desak Fahira.
Sementara itu, koordinator warga Malang untuk gerakan antimiras Alvanul Maghfur mendesak Pemerintah Kota Malang untuk konsisten menjalankan perda miras, salah satunya menegakkan aaturan bahwa siapa saja yang membeli miras harus menunjukkan KTP atau tanda pengenal lain yang membuktikan usianya 21 tahun ke atas.
“Aturan ini hampir tak pernah diterapkan. Di lapangan anak-anak sekolah dengan mudahnya membeli miras, sama beli seperti beli soft drink. Kami minta pemerintah kota tegas. Ini persoalan serius, Miras sudah merusak pelajar kita,” tegas Alvanul saat Deklarasi GeNAM Chapter Malang di Stadion Kanjuruhan, Kapanjen, Malang (16/11).
Menurut Alvanul, walau baru dideklarasikan, GeNAM Chapter Malang sejak 2013 sudah melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah dan diskusi tentang bahaya miras. Terakhir bersama DPRD Kota Malang, GeNAM Chapter Malang menggelar diskusi bahaya miras.
“Saat penegakan hukum tidak bisa diharapkan, warga harus bergerak. Tidak ada jalan lain, selain melakukan gerakan penyadaran tentang bahaya miras. Jangan sampai miras merusak citra Malang sebagai Kota Pelajar,” ujarnya.