MYANMAR (Panjimas.com) – Pada Sabtu (8/11/2014), Presiden Joko Widodo (Jokowi) didampingi Ibu Negara Iriana memulai kunjungan luar negeri perdananya sejak dilantik 20 Oktober 2014 lalu. Jokowi akan menghadiri serangkaian pertemuan tingkat internasional di 3 negara; Tiongkok (RRT), Myanmar dan Australia.
Usai kunjungan dari RRT, Presiden Jokowi dan rombongan akan melanjutkan perjalanan ke Nay Pyi Taw, Myanmar untuk menghadiri KTT ASEAN. Selama di Myanmar, Jokowi dijadwalkan akan menghadiri pertemuan ASEAN dengan mitra ASEAN, KTT Asia Timur.
Dan yang paling ironis serta mencederai umat Islam Indonesia adalah, Presiden Jokowi bertemu dengan pembantai kaum Muslimin Rohingya Arakan yang sekaligus Presiden Republik Uni Myanmar, U Thein Sein di Nay Pyi Taw, pada Rabu (12/11/2014).
Laman Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) menyebut bahwa kunjungan ini sebagai perkenalan Presiden RI yang baru kepada Myanmar selaku Chair (Ketua) ASEAN tahun 2014, sekaligus untuk membahas upaya-upaya bersama dalam memperkuat dan meningkatkan kerjasama bilateral RI-Myanmar.
Meski sudah jelas sekali bahwa pemerintah Myanmar telah melakukan etnic cleansing terhadap umat Islam di Myanmar Selatan, namun Presiden Jokowi menegaskan Indonesia akan tetap menjadi sahabat Myanmar dalam mengembangkan hubungan bilateral dan dalam konteks pemajuan ASEAN.
Jokowi dan U Thein Sein menyepakati sejumlah hal yang menjadi prioritas bersama kedua negara. Dalam konteks kerja sama bilateral, Indonesia siap bekerja sama dalam meningkatkan perdagangan dan investasi kedua negara, diantaranya melalui peningkatan investasi BUMN dan pihak Swasta Indonesia di Myanmar, khususnya di sektor pertambangan, infrastruktur dan telekomunikasi.
Selain itu, kedua Presiden sepakat untuk menjajaki pembukaan penerbangan langsung (direct flight) dan perbankan langsung (direct banking) RI-Myanmar guna semakin meningkatkan kerja sama kedua negara di berbagai bidang.
Rezim Budha Myanmar Bantai Umat Islam
Sebagai informasi, PBB telah menggambarkan Muslim Rohingya sebagai salah satu minoritas yang paling teraniaya di dunia. Mereka menghadapi pembatasan kebebasan bergerak dan hidup dalam ketakutan akan penangkapan sewenang-wenang dan kekerasan di negara yang mayoritas beragama Budha.
Sekitar 140.000 Muslim Rohingya dikekang oleh penjaga bersenjata dan pos pemeriksaan di kamp-kamp kumuh di pinggiran Sittwe, ibukota negara bagian Rakhine barat laut. Itu terjadi setelah pemerintah dan kelompok Budha radikal menggencarkan serangan brutal masal ke desa-desa mereka pada tahun 2012, memaksa mereka untuk meninggalkan tempat tinggal mereka.
Sejak itu lebih dari 100.000 orang melarikan diri dari Myanmar menggunakan kapal reyot penuh sesak. Namun mereka yang mengungsi, tak juga selalu disambut baik oleh negara-negara tetangganya. Salah satu contohnya, seorang yang semestinya dimuliakan karena hafal Al Quran malah mendekam di penjara sebab tergolong pendatang ilegal.
Sebelumnya, pemerintah Musyrik Budha Myanmar menyatakan ingin menjadikan sekitar satu juta Muslim Rohingya sebagai bagian dari “rencana tindakan” Myanmar, guna menarik kembali warga yang telah mengungsi. Rezim Budha Myanmar juga mengatakan mengiming-imingi mereka yang terdaftar sebagai “Bengali” akan memiliki kesempatan untuk memperoleh kewarganegaraan. Namun, Muslimin Rohingya menolak karena akan menghadapi kemungkinan penahanan dan deportasi. Itu lebih buruk dari dipenjara di pengungsian, sebab nyawa mereka semakin tidak terjamin.
Resolusi PBB, yang disusun oleh Uni Eropa, mendesak pemerintah Myanmar untuk “memungkinkan identifikasi diri” warga Muslim Rohingya dan untuk diberi “kebebasan bergerak dan akses yang sama terhadap kewarganegaraan penuh.” Setelah kunjungan ke Rakhine, pelapor PBB khusus pada hak asasi manusia, Yanghee Lee, menyatakan pada 26 Juli saat konferensi pers di Bandara Internasional Yangon bahwa pemerintah tirani “berulang kali memberitahu [PBB] untuk tidak menggunakan istilah ‘Rohingya’, seperti ini tidak diakui oleh pemerintah”.
Bereaksi terhadap hal itu, PBB menjawab bahwa “hak-hak minoritas untuk mengidentifikasi diri … terkait dengan kewajiban Negara untuk memastikan (perlakuan) non-diskriminasi terhadap individu dan kelompok”.
Resolusi ini sekarang berhadapan dengan Majelis Umum. Meskipun tidak mengikat, diharapkan akan menambah tekanan pada pemerintah Myanmar. Banyak yang mengandalkan kekuatan resulusi itu dengan kehadiran Obama dua pekan ke depan. Namun demikian, Muslimin Rohingya tidak dapat mengandalkan apa yang akan terjadi setelah kunjungan Presiden Amerika Serikat itu dalam pertemuan puncak regional.
Myanmar mulai diintimidasi dan diperangi Rezim Budha plus militer yang keras pada tahun 2011, ketika sebuah pemerintah sipil terdiri dari mantan jenderal mendapatkan kekuasaan dan melancarkan serangkaian reformasi Demokrasi. Tapi bumi Rohingya secara ironis menyaksikan kondisi rakyatnya kian parah di bawah pemerintahan Presiden Thein Sein, seiring diberlakukannya era kebebasan baru yang mendorong ekstrimis Budha semakin berani mendzalimi kaum Muslimin disana. [GA/intgn]