JAKARTA (Panjimas.com) – Maraknya kekerasan baik psikis, fisik maupun seksual yang terjadi di sekolah menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi Menteri Pendidikan baru yang berganti nama menjadi Menteri Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah yang saat ini dinahkodai oleh Anies Baswedan. Sekolah yang seharusnya menjadi ‘surga’ bagi anak mengembangkan dirinya, malah menjadi tempat yang paling sering terjadi kekerasan.
“Kekerasan di sekolah ini sudah sangat kompleks karena pelaku kekerasan bukan hanya sesama murid, tetapi juga guru turut melakukan. Lihat saja apa yang terjadi di Bukit Tinggi (kekerasan terhadap sesama murid SD). Baru-baru ini saya dapat kabar, di Maluku Tenggara, 20 orang siswi SMP dicabuli gurunya sendiri dan diancam tidak naik kelas jika tidak menuruti keinginannya. Ini sudah gawat,” ujar Wakil Ketua Komite III DPD yang membidangi Pendidikan Fahira Idris di Jakarta (27/10).
Fahira mengatakan, akibat minimnya pendidikan budi pekerti dan karakter di sekolah terutama di tingkat dasar, terjadi pergeseran nilai dan prilaku peserta didik. Kondisi ini diperparah dengan tipisnya sensitifitas media massa yang banyak menayangkan adegan kekerasan sehingga sering ditiru anak-anak. Kurangnya pemahaman orang tua terhadap perlindungan anak juga menjadi pangkal sebab.
“Perlu ada terobosan baru dan komprehensif untuk menghilangkan praktik kekerasan di sekolah. Pembenahan total harus segera dilakukan. Pendidikan karakter dan budi pekerti harus jadi mata pelajaran tersendiri dan wajib diajarkan sejak dini,” ungkap aktivis perempuan yang concern terhadap perlindungan anak ini.
Masalah lain yang juga cukup memperihatinkan dalam dunia pendidikan adalah kekerasan baik psikis, fisik maupun seksual yang dilakukan oknum guru. Sudah saatnya, kata Fahira, Kementerian punya sistem rekruitmen guru yang baku di mana salah satu penekannya adalah psikotes dan rekam jejak untuk mengetahui apakah para calon guru punya kencenderungan melakukan kekerasan. Sistem ini wajib dijalankan semua sekolah sebelum merekruit guru.
“Para guru ini wajib diberi pemahaman perlindungan terhadap anak, termasuk sanksi hukum yang akan mereka terima jika melakukan kekerasan. Sedih rasanya, jika ada berita oknum guru yang melakukan kekerasan, apalagi seksual. Mau jadi apa generasi penerus bangsa ini, jika di sekolah saja mereka merasa tidak aman,” tukas Ketua Yayasan Anak Bangsa Berdaya dan Mandiri ini.
Namun dari itu semua, lanjut Fahira, maraknya kekerasan terhadap anak di Indonesia adalah akibat dari belum adanya sistem perlindungan anak di Indonesia. Menurutnya, Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah tidak mungkin bisa memecahkan gunung es kekerasan terhadap anak sendiri tanpa dukungan dari pihak lain. “Kekerasan anak ini sudah begitu kompleks. Semua pihak harus duduk bersama mengurainya. Komite III DPD akan menginisiasi agar lahir sistem perlindungan anak di Indonesia,” jelas Fahira.