JAKARTA (Panjimas.com) – Anggota Working Group on the Advocacy against Torture (WGAT) dari Elsam, Wahyu Wagiman menerangkan dalam peringatan Hari Anti Penyiksaan Internasional tangal 26 Juni 2014 ini bahwa kasus penyiksaan yang dilakukan aparat negara di Indonesia masih sangat tinggi.
Wahyu mencontohkan, kasus yang paling menyita perhatian pada awal Mei 2014 adalah peristiwa yang menimpa Tukimin alias Kadir (35), warga Jebres – Solo yang ditangkap anggota Densus 88 Anti Teror. Tukimin dituduhkan sebagai salah satu anggota jaringan teroris Teguh dan Santosa. Tukimin disekap di dalam mobil dan dipukuli. Setelah tidak terbukti, Tukimin kemudian dilepas begitu saja pada hari itu juga.
Sementara itu, anggota WGAT lainnya dari PBHI, Totok Yulianto menerangkan, dalam kasus penyiksaan di atas pertangungjawaban aparat negara sebagai pelaku penyiksaan masih sangat rendah. Berdasarkan monitoring yang dilakukan WGAT, sangat sedikit pelaku penyiksaan yang dimintai pertanggungjawaban, dan kasus dianggap selesai ketika korban dilepas, atau proses peradilannya selesai.
…Negara harus bertanggung jawab untuk menanggung segala resiko, dalam hal tugas Kepolisian, Negara harus bertanggungjawab baik biaya medis akibat kekerasan dan merehabilitasi namanya…
“Negara seharusnya bertanggung jawab untuk menanggung segala resiko, dalam hal tugas Kepolisian, Negara harus bertanggungjawab baik biaya medis akibat kekerasan, dan rehabilitasi nama saksi atau tersangka jika tidak terbukti bersalah,” tegasnya, Kamis (26/6/2014).
Dengan komitmen Negara yang begitu lemah dan kondisi masih seperti itu, lanjut Totok, tren kasus penyiksaan sepertinya belum akan menunjukkan tanda–tanda penurunan. Oleh karena itu, WGAT mendesak Pemerintah Indonesia untuk sesegera mungkin mendorong secara serius prinsip-prinsip anti penyiksaan dalam berbagai regulasi dan wajib merevisi seluruh ketentuan peraturan yang berpotensi membuka situasi penyiksaan.
“WGAT mendesak pemerintah dan DPR memasukkan hak reparasi (kompensasi, restituai dan bantuan) bagi korban-korban penyiksaan dalam Revisi UU Perlindungan saksi dan korban. Serta, WGAT juga mendorong agar dibentuknya UU Khusus Anti-Penyiksaan, jika RUU KUHP dan RUU KUHAP gagal merumuskan pasal-pasal anti penyiksaan,” tandasnya. [Ghozi Akbar/dbs, trb]