Blokade dan serangan membabi buta yang terus di tentara lsrael ke wilayah Jalur Gaza, telah membunuh puluhan ribu orang dan melukai belasan ribu lainnya yang kebanyakan korbannya merupakan perempuan dan anak-anak. Dikatakan membabi buta karena penduduk sipil yang berlindung di rumah ibadah, rumah sakit, sekolah dan kamp pengungsi PBB ikut diserang dan dibombardir.
Hal ini membuat sejumlah negara (termasuk Indonesia), pimpinan organisasi internasional dan regional, serta organisasi hak asasi manusia telah menuduh Israel melakukan pelanggaran terhadap Piagam PBB dan hukum humaniter internasional.
Tuduhan tersebut telah diajukan ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) dan ke Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal of Court/ICC) dengan tuntutan agar Israel diadili. Pasalnya, negara Zionis ini telah melakukan kejahatan genosida dan atau kejahatan kemanusiaan di Jalur Gaza.
Namun, Israel berkilah serangan yang dilakukan oleh Israel Defense Force (IDF) tersebut merupakan hak pertahanan diri (right to self-defense), karena sebelumnya pada 7 Oktober lalu telah diserang lebih dahulu oleh militan Hamas yang membuat ribuan warganya terbunuh.
Menjadi pertanyaan, benarkah serangan IDF ke Jalur ini Gaza merupakan upaya pertahanan diri dan karena itu dibenarkan secara yuridis? Terlepas benar atau salah, apakah para dalang dibalik serangan brutal Israel tersebut dapat diseret ke depan pengadilan dan dijatuhi hukuman yang setimpal.
Agresi militer Israel ke Jalur Gasa yang sudah berlangsung dua bulan lebih tersebut sejatinya tidak bisa dikategorikan sebagai hak pertahanan diri, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 piagam PBB dengan empat alasan.
Pertama, yang dilawan Israel bukan sebuah negara melainkkan hanya sebuah entitas bersenjata yang secara de facto berada di daerah kekuasaannya. Dalam arti, Israel hanya terancam dan diserang oleh kelompok bersenjata (dalam hal ini pejuang Hamas dan faksinya) di wilayah jajahannya dan karena itu tindakan Israel tidak bisa dikategorikan sebagai hak pertahanan diri.
Kedua, operasi militer IDF kali ini lebih ofensif dan brutal dalam melakukan serangan ke Jalur Gaza. Akibatnya, jumlah korban masyarakat sipil berkali lipat dan banyak perempuan dan anak-anak, bahkan bayi ikut menjadi korban secara mengenaskan.
Ketiga, upaya pertahanan diri sejatinya bertujuan agar masyarakat terlindungi dan merasa aman. Namun dari empat serangan yang dilancarkan IDF, termasuk 3 operasi militer sebelumnya yaitu operation cast lead pada 27 Desember 2008, operation pillar of defense pada 14 November 2012, dan operation protective edge pada 8 Juli 2014, justru semakin menambah penderitaan masyarakat.
Terakhir, serangan IDF dengan nama operation swords of iron pada 7 Oktober dan 3 operasi militer sejenis sebelumnya tidak berdasar. Karena tidak didahului deklarasi dan belum disetujui oleh mayoritas warganya, seperti disyaratkan dalam konstitusi Israel sendiri.
Dari penjelasan di atas, argumentasi Israel yang menyatakan tindakannya adalah hak pertahanan diri tidak berdasar. Bahkan serangan militer Israel ke Jalur Gasa dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang dan genosida, karena melanggar asas-asas dan prinsip hukum humaniter, serta sejumlah pasal dalam Konvensi DenHaag 1899 dan 1907 maupun Konvensi Jenewa 1949 dan 2 protokol tambahannya yang dibuat 1977.
Ambil contoh, penduduk sipil yang berlindung di rumah ibadah, rumah sakit, sekolah dan kamp pengungsi PBB seharusnya dilindungi dan tidak boleh diserang, tapi justeru jadi sasaran pemboman secara membabi buta. Akibatnya, puluhan ribu penduduk sipil baik perempuan, anak-anak dan bayi ikut menjadi korban.
Secara yuridis, bombardir yang dilakukan IDF bertentangan dengan Pasal 50 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977 yang secara tegas membedakan orang-orang sipil dan penduduk sipil. Dalam Pasal 48 di konvensi yang sama dinyatakan operasi militer harus dibedakan antara penduduk sipil dan kombatan, serta objek sipil dan sasaran militer, dan serangan hanya diarahkan ke sasaran militer.
Serangan IDF juga menabrak asas perikemanusiaan (humanity), prinsip pembedaan (distinction principle) dan prinsip pembatasan (limitation) dari hukum humaniter. Asas dan prinsip tersebut, intinya melarang penduduk sipil dan obyek sipil seperti tempat ibadah, rumah sakit, sekolah, pasar, peninggalan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan fasilitas publik dijadikan sasaran perang atau dihancurkan.
Selain itu, penyetopan pasokan air, suplai bahan makanan, listrik, dan obat-obatan untuk orang sakit merupakan aksi pengingkaran terhadap keharusan melindungi objek-objek yang menopang kelangsungan hidup penduduk sipil, seperti diatur dalam Pasal 54 Konvensi Jenewa. Dalam Pasal 56 juga ditetapkan bendungan, tanggul, pusat pembangkit listrik tidak boleh diserang dan dijadikan sasaran perang.
Selama 75 tahun Israel menjajah Palestina, ada banyak pelanggaran hukum hak asasi manusia (HAM) internasional dan hukum humaniter yang dilanggar Israel. Diantaranya pembunuhan secara illegal yang disertai perpindahan paksa dan penahanan penduduk secara kejam. Pun, melakukan blokade Jalur Gaza, pembangunan permukiman illegal, kebijakan diskriminatif terhadap warga Palestina, dan penggunaan senjata ilegal.
Setidaknya ada tiga alternatif mekanisme penegakan hukum yang bisa ditempuh untuk menghukum para pelaku (dalang) dibalik kejahatan genosida dan atau kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Israel terhadap penduduk Palestina.
Pertama, menurut Konvensi Jenewa 1949 setiap pemerintah yang meratifikikasi konvensi harus membuat UU nasional dengan sanksi pidana bagi setiap pelaku atau memerintahkan pelanggaran berat terhadap Konvensi (pasal 49 ayat 1). Upaya ini sulit dilakukan karena Israel belum meratifikasi konvensi tersebut dan Israel akan berjibaku melindungi warganya yang melakukan kejahatan.
Selajutnya, lewat Mahkamah ad hoc yang khusus mengadili kejahatan Israel di Palestina dengan syarat Dewan Keamanan (DK) PBB menetapkan resolusi untuk membentuk mahkamah ini. Sayangnya resolusi ini harus didukung suara bulat lima anggota tetap DK PBB –Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Perancis, dan Republik Rakyat Cina– dan bisa dipastikan resolusi akan diveto oleh sekutu Israel seperti Amerika Serikat, Inggeris atau Perancis.
Terakhir, melalui Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) yang didirikan berdasarkkan Statuta Roma 1998 dan berwenang mengadili pelaku kejahatan perang (the most serious crimes). Kendalanya, jurisdiksi ICC baru bisa diterapkan jika negara pelaku kejahatan mau terikat dan menjadi pihak pada Statuta Roma, tapi Israel dan Amerika Serikat tidak terikat karena belum meratifikasi Statuta Roma.
Boleh jadi karena ketiga mekanisme penegakan hukum tersebut sudah “dipagari” sehingga setiap pelanggaran terhadap Piagam PBB dan hukum humaniter internasional yang dilakukan Israel di wilayah pendudukan Palestina, selalu mandeg dan tidak pernah berhasil menjerat dalangnya.
Akankah Israel kembali lolos dari tuduhan sebagai negara pelaku kejahatan genosida maupun kejahatan kemanusiaan, dan para dalangnya bebas dari hukuman, kita nantikan dan saksikan bersama.
Abdul Salam Taba, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Bosowa dan The University of Newcastle