JENEWA, (Panjimas.com) — Upaya perundingan damai membahas konflik Yaman kembali menuai kegagalan karena delegasi milisi Syiah Houthi enggan menghadiri undangan PBB di Jenewa, Sabtu (08/09).
Saat ini, PBB sedang berupaya mempertemukan dua kubu yang saling berperang di Yaman, yakni Houthi yang disokong oleh rezim Syiah Iran dan kubu pemerintahan Hadi yang mendapat dukungan militer dari Arab Saudi serta Uni Emirat Arab.
Meski Syiah Houthi tidak memenuhi undangan untuk berunding bahkan setelah ditunggu selama tiga hari, Utusan Khusus PBB Martin Griffiths mengatakan bahwa proses perdamaian belum berakhir.
Griffiths mengaku akan menemui pemimpin Houthi di Sanaa dan Mucat dalam beberapa hari mendatang.
“Mereka sebenarnya ingin hadir di sini, tapi kami tidak mampu menciptakan situasi yang tepat agar mereka bisa datang,” ujar Griffiths dalam konferensi pers, dikutip dari Reuters.
Sebelumnya pemimpin Houthi, Abdul Malik al-Houthi, menuding koalisi pimpinan Saudi telah menghalangi delegasi mereka terbang ke Jenewa untuk menghadiri perundingan.
“Kita semua tahu bahwa perundingan ini gagal karena delegasi kami dihalangi oleh pasukan koalisi untuk terbang menuju Jenewa,” ungkanya dalam pidato yang disiarkan oleh al-Masirah TV.
Akibat perang, situasi kemanusiaan di Yaman semakin memburuk dan membuat 8,4 juta orang terancam kelaparan.
Kelompok Houthi mengaku menutut jaminan dari PBB bahwa pesawat yang mereka gunakan — yang disediakan oleh Oman — tidak akan dihentikan di Djibouti oleh koalisi Saudi untuk keperluan pemeriksaan.
Pesawat serupa sempat ditahan di Djibouti selama beberapa bulan oleh koalisi Saudi.
Selain itu Houthi juga menuntut izin agar pesawat tersebut bisa digunakan untuk mengevakuasi sejumlah korban luka ke Oman dan Eropa.
Sementara itu di sisi lain, Menteri Luar Negeri Yaman Khaled al-Yamani, yang memimpin delegasi pemerintah ke Jenewa, menuding Houthi “tidak bertanggung jawab” dan “berupaya mensabotase negosiasi.”
“Jika mereka memang berniat baik untuk berdamai, mereka seharusnya datang,” tegasnya.
Menlu Yaman juga mengkritik Utusan Khusus PBB Martin Griffiths karena dinilai kurang tegas.
“Kami ingin PBB untuk lebih tegas dalam mendatangkan semua pihak ke meja perundingan,” pungkasnya.
Yaman yang kini menjadi negara miskin, tetap berada dalam keadaan kacau sejak tahun 2014, ketika milisi Syiah Houthi dan sekutunya menguasai ibukota Sanaa dan bagian-bagian lain negara ini.
Sejak Maret 2015, koalisi internasional yang dipimpin Saudi telah memerangi pemberontak Syiah Houthi yang disokong rezim Iran dan pasukan-pasukan yang setia kepada mantan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh, Arab Saudi dan sekutu-sekutu negara Muslim Sunni meluncurkan kampanye militer besar-besaran yang bertujuan untuk mengembalikan kekuasaan yang diakui secara internasional dibawah Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi.
Arab Saudi dan para sekutunya melihat milisi Houthi sebagai proxy kekuatan Iran di dunia Arab. Koalisi militer Arab yang dipimpin oleh Saudi di Yaman terdiri dari Koalisi 10 negara yakni Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, Yordania, Mesir, Maroko, Sudan, dan Pakistan.
Sejumlah organisasi hak asasi manusia telah menuding Kerajaan Saudi terlibat kejahatan perang sebagai akibat dari kampanye pengebomannya yang dapat dianggap sembarangan dan menyebabkan kerusakan berlebihan pada negara tersebut termasuk jumlah korban tewas yang cukup tinggi.
Menurut pejabat PBB, lebih dari 10.000 warga Yaman telah tewas akibat konflik berkepanjangan ini, sementara itu lebih dari 11 persen dari jumlah penduduk negara itu terpaksa mengungsi, sebagai akibat langsung dari pertempuran yang tak kunjung usai. Untuk diketahui, lebih dari setengah total korban adalah warga sipil. sementara 3 juta lainnya diperkirakan terpaksa mengungsi, di tengah penyebaran malnutrisi dan penyakit.[IZ]