ISTANBUL, (Panjimas.com) — Pemerintah Turki baru-baru ini menyampaikan kecaman kerasnya terhadap Rusia atas serangan di Idlib, Selasa (04/09) lalu. Menteri Luar Negeri Turki Melvut Cavusoglu menilai serangan tersebut ditujukan untuk mengepung Idlib sehingga berbahaya dan dapat membawa risiko serius.
“Setelah serangan itu, institusi kami (Turki dan Rusia) saling menghubungi. Kami mengatakan kepada mereka bahwa ini salah,” pungkas Melvut Cavusoglu pada konferensi pers dengan Menlu Jerman, Heiko Maas.
Menurutnya hal itu juga akan menjadi bencana dari berbagai sudut pandang. Keinginan rezim Assad, menurutnya, sudah cukup jelas untuk menyerang dan mengepung Idlib.
Cavusoglu mengatakan, Rusia dan Iran merupakan pendukung rezim Assad, sementara Turki terus berhubungan dengan kedua negara ini. Posisi Turki dan Jerman di Suriah dan isu-isu lainnya, menurutnya tumpang tindih.
Sementara itu, saat melihat kemungkinan dampak serangan Idlib, Menlu Jerman Heiko Maas mengatakan, mereka yang akan melarikan diri dari Idlib harus dibantu.
“Kami berbicara bagaimana kami dapat membantu. Turki adalah mitra penting kami dalam masalah ini,” tukasnya.
Jet tempur Rusia pada 4 September lalu menyerang sasaran sipil dan basis oposisi di Idlib.
Terletak di dekat perbatasan Turki, Idlib adalah rumah bagi lebih dari 3 juta warga Suriah, banyak di antaranya melarikan diri dari kota-kota lain setelah serangan oleh pasukan rezim Assad.
Jumat pekan lalu, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan serangan ke Idlib adalah bentuk eskalasi perang Suriah. Departemen Luar Negeri AS telah memperingatkan bahwa Washington akan menanggapi dan merespons setiap serangan senjata kimia oleh Damaskus.
Isu penggunaan senjata kimia oleh Suriah memang telah disuarakan AS menyusul rencana serangan ke Idlib.
“Semua mata tertuju pada tindakan Assad, Rusia, dan Iran di Idlib #NoChemicalWeapons,” kicau Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley melalui akun Twitternya.
PBB telah memperingatkan, serangan ke Idlib, yang dihuni 2,9 juta orang, berpotensi menciptakan keadaan darurat kemanusiaan dalam skala yang belum terlihat sebelumnya.
Jumlah warga Idlib yang membutuhkan bantuan, saat ini sudah terlampau tinggi, dan akan melonjak tajam. Sementara itu, 800.000 orang diperkirakan terpaksa mengungsi apabila serangan besar-besaran dilancarkan disana.
Idlib sebagaimana dikethui kini merupakan wilayah yang dikendalikan oleh kelompok-kelompok bersenjata anti-rezim Assad, Idlib telah mengalami serangan udara hebat selama dua bulan terakhir, yang menyebabkan ratusan kematian dan korban luka, menurut sumber pertahanan sipil.
Wilayah Idlib berada dalam jaringan zona de-eskalasi yang disokong oleh Turki, Rusia, dan Iran – di mana tindakan agresi militer dilarang secara eksplisit.
Selama pembicaraan damai di ibukota Kazakhstan, Astana, tiga negara penjamin, Turki, Iran dan Rusia, sepakat untuk menetapkan zona de-eskalasi di Idlib dan di beberapa bagian Provinsi Aleppo, Latakia dan Hama.
Idlib, yang terletak di Suriah bagian Barat Laut di perbatasan Turki, menghadapi serangan hebat yang dilancarkan rezim Assad setelah perang berkecamuk yang dimulai pada tahun 2011.
Sejak Maret 2015, Idlib tidak lagi berada di bawah kendali rezim Assad dan didominasi oleh kelompok oposisi militer dan organisasi bersenjata anti-rezim Assad.
Sejak awal 2011, Suriah telah menjadi medan pertempuran, ketika rezim Assad menumpas aksi protes pro-demokrasi dengan keganasan tak terduga — aksi protes itu 2011 itu adalah bagian dari rentetan peristiwa pemberontakan “Musim Semi Arab” [Arab Spring].
Sejak saat itu, lebih dari seperempat juta orang telah tewas dan lebih dari 10 juta penduduk Suriah terpaksa mengungsi, menurut laporan PBB.
Sementara itu Lembaga Pusat Penelitian Kebijakan Suriah (Syrian Center for Policy Research, SCPR) menyebutkan bahwa total korban tewas akibat konflik lima tahun di Suriah telah mencapai angka lebih dari 470.000 jiwa.[IZ]