COX’S BAZAR, (Panjimas.com) — Puluhan pengungsi Rohingya berkumpul di lapangan olahraga berlumpur di sebuah kamp pengungsian di Bangladesh, Rabu (05/09). Sekitar 50 pengungsi Rohingya itu memprotes tindakan keras Myanmar yang menahan dua wartawan Reuters.
Keduanya ditangkap, saa sedang melakukan peliputan terhadap penderitaan yang dialami Rohingya di negara bagian Rakhine. Hakim Myanmar pada Senin (03/09) memutuskan dua wartawan Reuters dinyatakan bersalah karena melanggar hukum terkait dokumen resmi negara. Keduanya dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara.
Saat ditangkap Desember lalu, Wa Lone (32 tahun), dan Kyaw Soe Oo (28 tahun) sedang menyelidiki pembunuhan oleh pasukan keamanan Myanmar di negara bagian Rakhine terhadap 10 penduduk Rohingya. Kedua wartawan itu menegaskan dirinya tidak bersalah.
Abdu Shakur, Ayah dari Rashid Ahmed, ikut menghadiri aksi demonstrsi itu. Rashid Ahmed merupakan salah satu korban tewas dari 10 orang yang sempat diberitakan wartawan Reuters itu.
“Saya merasa sangat sedih karena putra saya dan keluarga lainnya tidak bersalah dan para wartawan juga tidak bersalah. Lalu mengapa mereka dihukum?,” ujar Abdu Shakur kepada Reuters.
Para pengunjuk rasa membawa poster-poster yang ditempelkan dengan gambar wajah para wartawan Reuters. Mereka meneriakkan ‘Kebebasan!’ “Saya berharap jika kita semua mencoba untuk mereka, maka pemerintah akan melepaskannya,” tegas Shakur.
Setelah kedua wartawan tersebut ditangkap, Militer Myanmar membenarkan pembunuhan yang sedang diselidiki dua wartawan Reuters itu. Pembunuhan dilakukan di Desa Inn Din di Negara Bagian Rakhine terhadap 10 Rohingya. Beberapa tentara telah dituntut dan dihukum atas peristiwa itu.
Meskipun Militer Myanmar mengakui pembunuhan di Inn Din, namun pemerintah telah membantah banyak tuduhan kekejaman terhadap Rohingya oleh pasukan keamanan. Pemerintah Myanmar mengatakan melakukan operasi kontra pemberontakan yang sah terhadap militan yang memulai kekerasan.
Rahama Khatun, istri dari salah satu pria yang tewas di Inn Din, juga menghadiri aksi protes. “Anggota keluarga kami telah meninggal, juga kedua umat Buddha ini dipenjara,” tandasnya, sambil memegang sebuah tanda yang bertuliskan “Bebaskan Wa Lone dan Kyaw Soe Oo”!.
“Keluarga mereka mungkin menghadapi kesulitan untuk bertahan hidup. Kami bersimpati dengan keluarga mereka,” imbuhnya.
Menurut Badan Pembangunan Internasional Ontario (OIDA), pada 25 Agustus 2017, Myanmar melancarkan operasi militer besar-besaran terhadap minoritas etnis Muslim. Akibatnya, hampir 24.000 warga sipil tewas serta 750.000 penduduk lainnya terpaksa melarikan diri ke Bangladesh.
Kondisi Pengungsi Rohingya Memprihatinkan
Kini, lebih dari 900.000 Muslim Rohingya tinggal di wilayah Cox’s Bazar, Bangladesh. Sebanyak 700.000 diantaranya berasal dari gelombang pengungsi yang melarikan diri dari kekerasan brutal militer pada 25 Agustus 2017 lalu.
Direktur Dokter Lintas Batas (Medecins Sans Frontiere) Bangladesh, Pavlo Kolovos memaparkan bahwa para pengungsi tinggal di tempat penampungan kecil yang terbuat dari bambu dan terpal plastik. “Banyak daerah di kamp-kamp sangat padat sehingga tidak mungkin ambulans untuk berpindah dari satu rumah ke rumah lainnya,” ujar Pavlo, dikutip dari ROL.
Pavlo Kovolos mengatakan kondisi hidup memprihatinkan pun menimbulkan berbagai macam masalah kesehatan bagi Rohingya. Diantaranya beberapa masalah seperti diare, penyakit kulit, dan infeksi saluran pernafasan.
“Tidak dapat dipungkiri, diare berair tetap menjadi salah satu masalah kesehatan terbesar yang kita lihat di kamp,” pungkasnya.
Pavlo menuturkan, kebanyakan pengungsi tidak memiliki akses yang cukup ke infrastruktur air dan sanitasi yang baik. Jamban yang dibangun sejak awal dalam tanggap darurat telah meluap. Selain itu banyak jamban telah rusak. Pengungsi juga tidak memiliki infrastruktur untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Hal itu dinilai sangat mempengaruhi kualitas hidup yang dijalankan pengungsi.
“Kebutuhan paling mendesak di kamp saat ini adalah untuk mengatasi kondisi hidup, untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman dan sehat bagi orang-orang yang tinggal di sana,” tuturnya.
Direktur MSF Bangladesh itu pun mengatakan pengungsi Rohinya membutuhkan solusi jangka panjang terkait masalah yang mereka alami di kamp pengungsian.
Solusi jangka panjang diperlukan karena keberadaan ratusan ribu Rohingya di Bangladesh. Bahkan, mereka belum memperoleh kepastian terkait pemulangan kembalinya ke Myanmar.
Pavlo menyebut sebagian besar pengungsi khawatir tentang kondisi masa depan tidak pasti yang mereka hadapi. Seorang pengungsi yang ditemui MSF menggambarkan kondisi keluarganya di kamp.
“Ketika hujan turun kami duduk bersama, semua anggota keluarga kami, (menahan rumah) sehingga rumah tidak akan roboh. Di malam hari sangat gelap di sini, kami tidak memiliki lampu,” ujar seorang pengungsi.
Pengungsi lain mengaku kehilangan kekuatan dan kemampuan untuk bekerja.
“Saya selalu memiliki begitu banyak kekhawatiran, kekhawatiran tentang masa depan. Saya berpikir tentang makanan, pakaian, kedamaian, dan penderitaan kita. Jika saya tinggal di tempat ini selama 10 tahun atau bahkan selama satu bulan, saya harus mengalami rasa sakit ini,” kata Abu Ahmad, seorang ayah dari delapan anak Rohingya.
Pavlo Kolovos berharap pihak berwenang segera menyerukan solusi jangka panjang untuk mengatasi kemiskinan yang dialami pengungsi. Selain itu, masalah Rohingya juga harus dibahas secara internasional agar penderitaan mereka berakhir.
Berdasarkan data MSF, 55 persen pengungsi adalah anak-anak dan sekitar 53 persen orang dewasa adalah wanita. Selama setahun terakhir, lebih dari 1.300 wanita telah melahirkan bayi mereka di fasilitas kesehatan MSF. Jumlah itu diperkirakan lebih tinggi karena banyak wanita tidak melahirkan bayi mereka di fasilitas kesehatan.
MSF juga memberikan perawatan medis dan psikososial bagi perempuan dewasa dan anak perempuan yang mengalami kekerasan seksual di Myanmar.
“Para korban kekerasan seksual terus mengunjungi fasilitas kesehatan MSF hari ini. Ini termasuk orang-orang yang pernah mengalami kekerasan seksual dalam situasi mereka saat ini yang tinggal di kamp-kamp,” tandasnya.[IZ]