RIYADH, (Panjimas.com) — Pengadilan Pidana Khusus yang dibentuk Kerajaan Arab Saudi Selasa (04/09) lalu menggelar sidang perdana secara rahasia dan tertutup terhadap ulama terkemuka Syaikh Salman al-Awdah. Ia didakwa dengan tuntutan hukuman mati atas 37 dakwaan terorisme.
“Pengadilan pidana khusus mulai mengadili Syaikh Salman al-Awdah secara rahasia,” demikian kicau Prisoners of Conscience melalui akun Twitter-nya, Rabu (05/09).
“Dia dikenai 37 dakwaan terorisme dan jaksa menuntut hukuman mati”, papar Prisoners of Conscience. Prisoners of Conscinece merupakan lembaga nirlaba yang bekerja memantau para tahanan dan penegakan hak asasi manusia di Arab Saudi.
Kelompok HAM tersebut memantau penahanan para ulama dan kerabat kerajaan Saudi usai Pangeran Mohammad bin Salman meraih posisi sebagai Putera Mahkota Arab Saudi.
Salah satu tuduhan yang didakwakan kepada Syaikh Salman Al-Awdah, yakni menghasut melawan “ulil amri”. Hal ini diungkapkan oleh kelompok aktivis Rights Foundation yang berbasis di London.
Putra Syaikh Al-Awdah, Abdullah Al-Awdah, kemudian memberikan konfirmasinya atas berita tersebut. Ia mengatakan dakwaan yang dituduhkan kepada ayahnya termasuk kicauan melalui Twitter yang mengkritik pemerintah dan mendirikan organisasi di Kuwait untuk membela nabi.
Kantor Jaksa Agung Saudi tidak mengeluarkan pernyataan tentang masalah ini.Selain itu, Kantor komunikasi pemerintah Saudi tidak menjawab saat dihubungi Reuters.
Syaikh Salman Al-Awdah ditangkap pada September 2017, di saat pemerintahan Saudi dibawah kepemimpinan Mohamed bin Salman menggelar kampanye penangkapan terhadap lebih dari 20 tokoh dan aktivis lainnya.
Ia dirujuk ke persidangan rahasia pada pertengahan Agustus di Riyadh, setelah hampir setahun ditahan tanpa pengadilan.
Media Arab Saudi mengumumkan bahwa ‘individu yang terhubung dengan organisasi teroris’ dijatuhi hukuman mati, tetapi tidak menyebutkan nama Syaikh Salman Al-Awdah.
Namun, aktivis hak asasi mengklaim informasi dari pengadilan di Riyadh menegaskan individu tersebut juga termasuk Syeikh Salman al Awdah, yang merupakan anggota Ikatan Ulama dan Cendekiawan Muslim Sedunia (IUMS) yang dinyatakan organisasi “teroris” oleh empat Negara Arab, yakni Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain.
Tuduhan terhadapnya tidak dideklarasikan pada awal persidangan. Sebaliknya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengganjarnya dengan 37 dakwaan, termasuk dinilai ‘memimpin kelompok teroris’ dan ‘melakukan hasutan kepada pemerintah’.
Warganet kemudian mulai bergerak dengan mengkampanyekan hashtag ‘Salman al-Awdah bukan teroris’ dan mendesaknya untuk segera dibebaskan.
“Hukuman mati terhadap Salman adalah pertanda buruk untuk apa yang akan terjadi. Salman tidak memberikan pendapat politik. Dia tidak mengkritik Putra Mahkota Mohammad bin Salman atau pemerintah Arab Saudi secara umum, tetapi pandangannya dikatakan mengancam negara.”
“Dengan menerapkan hukuman itu, Arab Saudi berharap untuk menutup publik,” pungkas Direktur Hak Asasi Al-Qist, Yehia Assiri.
Syaikh Salman Al Awdah ditangkap 10 September 2017 dengan 20 orang lainnya, sebagian dari operasi khusus setelah Mohammad bin Salman menjadi Putra Mahkota pada bulan Juni tahun 2017.
Gelombang penangkapan itu turut menargetkan ulama, anak raja, feminis, aktivis hak asasi dan pengusaha, yang dilihat sebagai satu kampanye untuk membasmi Arab Saudi dari perbedaan pendapat.
Syaikh Salman Al-Awdah yang memiliki 14 juta pengikut Twitter, Ia ditangkap setelah menyerukan perdamaian dan rekonsiliasi hubungan antara Arab Saudi dan Qatar.
Sebelumnya, Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain, memutuskan semua hubungan dengan Qatar setelah menuding Doha mendukung “teroris”, klaim yang segera dibantah Doha.
Dukung Rekonsiliasi Qatar-Saudi
Syaikh Salman al-Awdah, seorang Ulama berpengaruh yang dipenjara pada tahun 1994-1999 karena dituding melakukan agitasi perubahan politik yang kini bahkan memiliki 14 juta pengikut di Twitter.
Dalam salah satu unggahan cuitan terakhirnya di Twitter, Sheikh Salman al-Awdah menyambut baik laporan pada hari Jumat (08/09/2017) yang menunjukkan bahwa gejolak krisis diplomatik tiga bulan antara Qatar dan empat negara Arab yang dipimpin oleh Arab Saudi, kini akan dapat diselesaikan.
“Semoga Allah menyelaraskan hati diantara mereka demi kebaikan rakyat mereka,” pungkas Sheikh Awdah melalui akun Twitternya menyusul laporan mengenai sambungan telepon antara Emirat Qatar Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani dan Putra Mahkota Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman untuk membahas cara-cara untuk menyelesaikan keretakan negara Teluk Arab tersebut, yang dimulai pada bulan Juni lalu, seperti dilansir oleh Reuters.
Harapan untuk sebuah terobosan penting segera pupus saat Arab Saudi menunda dialog dengan Qatar, sementara Riyadh menuding Doha sedang “mendistorsi fakta-fakta”.
Arab Saudi, bersama dengan Uni Emirat Arab, Bahrain dan Mesir menuduh Qatar mendukung kelompok Islamis, tuduhan yang segera dibantah Doha.
Syaikh Salman al-Awdah adalah Ulama kedua yang dilaporkan ditahan oleh pihak berwenang Saudi. Laporan media sosial mengatakan bahwa Syaikh Awadh al-Qarni, seorang Ulama terkemuka lainnya dengan 2,2 juta pengikut Twitter, juga ditahan saat hendak keluar dari rumahnya di Abha di Arab Saudi Selatan.
Seperti juga halnya Syaikh al-Awdah, Syaikh Awadh al-Qarni juga telah menyatakan dukungannya untuk rekonsiliasi antara negara-negara Arab dan Qatar.
Pejabat Saudi tidak dapat segera dihubungi untuk memberikan komentar mengenai laporan penangkapan kedua Ulama terkemuka Saudi tersebut.
Keluarga Kerajaan al-Saud beranggapan kelompok-kelompok Islam sebagai ancaman internal terbesar terhadap pemerintahannya atas di negara dimana seruan terhadap sentimen keagamaan masih kuat sementara gerilyawan Islam sebelumnya telah menargetkan wilayah negara bagian.
Satu dekade yang lalu, pihak al-Saud memerangi operasi serangan al Qaeda yang menargetkan pejabat dan warga asing yang menewaskan ratusan jiwa.
Pada 1990-an, gerakan Sahwa (“Awakening”, Kesadaran) yang terinspirasi oleh Ikhwanul Muslimin menuntut reformasi politik yang akan melemahkan keluarga penguasa al-Saud.
Laporan penangkapan kedua Ulama tersebut bertepatan dengan spekulasi yang meluas, diikuti dengan beberapa pemecatan pejabat Kerajaan, ditengah kabar Raja Salman bermaksud untuk menyerahkan tahta kepada Putra Mahkota, Pangeran Mohammed bin Salman.
Ditanya mengenai alasan penangkapan Ulama terkemuka tersebut, seorang analis Saudi berspekulasi: “(Untuk) menghancurkan Ikhwanul Muslimin atau menakut-nakuti pihak lain jika rencana mereka adalah untuknya (Putra Mahkota Mohammad) agar menjadi Raja.”
Para aktivis oposisi Saudi yang diasingkan telah menyerukan aksi demonstrasi pada 15 September yang dimaksudkan untuk menggalang kekuatan oposisi melawan pihak keluarga kerajaan.[IZ]