COX’S BAZAR, (Panjimas.com) — Kini, lebih dari 900.000 Muslim Rohingya tinggal di wilayah Cox’s Bazar, Bangladesh. Sebanyak 700.000 diantaranya berasal dari gelombang pengungsi yang melarikan diri dari kekerasan brutal militer pada 25 Agustus 2017 lalu.
Direktur Dokter Lintas Batas (Medecins Sans Frontiere) Bangladesh, Pavlo Kolovos memaparkan bahwa para pengungsi tinggal di tempat penampungan kecil yang terbuat dari bambu dan terpal plastik. “Banyak daerah di kamp-kamp sangat padat sehingga tidak mungkin ambulans untuk berpindah dari satu rumah ke rumah lainnya,” ujar Pavlo, dikutip dari ROL.
Pavlo Kovolos mengatakan kondisi hidup memprihatinkan pun menimbulkan berbagai macam masalah kesehatan bagi Rohingya. Diantaranya beberapa masalah seperti diare, penyakit kulit, dan infeksi saluran pernafasan.
“Tidak dapat dipungkiri, diare berair tetap menjadi salah satu masalah kesehatan terbesar yang kita lihat di kamp,” pungkasnya.
Pavlo menuturkan, kebanyakan pengungsi tidak memiliki akses yang cukup ke infrastruktur air dan sanitasi yang baik. Jamban yang dibangun sejak awal dalam tanggap darurat telah meluap. Selain itu banyak jamban telah rusak. Pengungsi juga tidak memiliki infrastruktur untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Hal itu dinilai sangat mempengaruhi kualitas hidup yang dijalankan pengungsi.
“Kebutuhan paling mendesak di kamp saat ini adalah untuk mengatasi kondisi hidup, untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman dan sehat bagi orang-orang yang tinggal di sana,” tuturnya.
Direktur MSF Bangladesh itu pun mengatakan pengungsi Rohinya membutuhkan solusi jangka panjang terkait masalah yang mereka alami di kamp pengungsian.
Solusi jangka panjang diperlukan karena keberadaan ratusan ribu Rohingya di Bangladesh. Bahkan, mereka belum memperoleh kepastian terkait pemulangan kembalinya ke Myanmar.
Pavlo menyebut sebagian besar pengungsi khawatir tentang kondisi masa depan tidak pasti yang mereka hadapi. Seorang pengungsi yang ditemui MSF menggambarkan kondisi keluarganya di kamp.
“Ketika hujan turun kami duduk bersama, semua anggota keluarga kami, (menahan rumah) sehingga rumah tidak akan roboh. Di malam hari sangat gelap di sini, kami tidak memiliki lampu,” ujar seorang pengungsi.
Pengungsi lain mengaku kehilangan kekuatan dan kemampuan untuk bekerja.
“Saya selalu memiliki begitu banyak kekhawatiran, kekhawatiran tentang masa depan. Saya berpikir tentang makanan, pakaian, kedamaian, dan penderitaan kita. Jika saya tinggal di tempat ini selama 10 tahun atau bahkan selama satu bulan, saya harus mengalami rasa sakit ini,” kata Abu Ahmad, seorang ayah dari delapan anak Rohingya.
Pavlo Kolovos berharap pihak berwenang segera menyerukan solusi jangka panjang untuk mengatasi kemiskinan yang dialami pengungsi. Selain itu, masalah Rohingya juga harus dibahas secara internasional agar penderitaan mereka berakhir.
Berdasarkan data MSF, 55 persen pengungsi adalah anak-anak dan sekitar 53 persen orang dewasa adalah wanita. Selama setahun terakhir, lebih dari 1.300 wanita telah melahirkan bayi mereka di fasilitas kesehatan MSF. Jumlah itu diperkirakan lebih tinggi karena banyak wanita tidak melahirkan bayi mereka di fasilitas kesehatan.
MSF juga memberikan perawatan medis dan psikososial bagi perempuan dewasa dan anak perempuan yang mengalami kekerasan seksual di Myanmar.
“Para korban kekerasan seksual terus mengunjungi fasilitas kesehatan MSF hari ini. Ini termasuk orang-orang yang pernah mengalami kekerasan seksual dalam situasi mereka saat ini yang tinggal di kamp-kamp,” tandasnya.[IZ]