DAMASKUS, (Panjimas.com) — Rusia menggelar operasi serangan udara ke Provinsi Idlib, Suriah, Selasa (04/09). Operasi ini merupakan serangan perdana ke Idlib dalam beberapa pekan terakhir.
Jet-jet tempur Rusia membombardir Idlib. Serangan ini dilakukan dengan dalih menumpas militan yang menguasai daerah tersebut, dikutip dari laman BBC.
Idlib merupakan wilayah yang hendak direbut kembali oleh pasukan rezim Assad dengan bantuan sekutunya, yakni Rusia dan Iran. Saat ini, Idlib masih dikuasai pasukan oposisi yang menentang pemerintahan Bashar al-Assad. Idlib kini menjadi satu-satunya wilayah yang masih berada di luar kontrol Pemerintahan Bashar Al-Assad.
Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov menegaskan, kehadiran pasukan oposisi di Idlib merongrong proses perdamaian Suriah.
“Kelompok teroris yang cukup besar telah menetap di sana dan tentu saja ini mengarah pada destabilisasi situasi secara umum. Ini merongrong upaya untuk membawa situasi ke jalur penyelesaian politik-diplomatik,” ujar Peskov.
Peskov mengatakan, saat ini pasukan Suriah sedang mempersiapkan serangan besar-besaran ke Idlib.
“Kami tahu bahwa angkatan bersenjata Suriah sedang mempersiapkan untuk menyelesaikan masalah ini,” jelasnya.
Sementara itu Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memperingatkan rezim Assad agar tidak melancarkan serangan membabi buta ke Idlib. Sebab, serangan tersebut berpotensi menciptakan krisis kemanusiaan baru di Suriah.
“Presiden Suriah Bashar al-Assad tidak boleh sembarangan menyerang Provinsi Idlib. Rusia dan Iran akan membuat kesalahan kemanusiaan besar untuk mengambil bagian dalam potensi tragedi kemanusiaan ini,” tegas Donald Trump.
Trump mengungkapkan kekhawatirannya dengan warga sipil yang mungkin turut menjadi korban dalam serangan Suriah dan sekutunya. “Ratusan ribu orang bisa terbunuh. Jangan biarkan itu terjadi,” tukasnya.
Namun peringatan tersebut tak diacuhkan Rusia. Peskov menilai AS tak memperhitungkan potensi negatif yang dapat dialami Suriah bila membiarkan Idlib tetap dikuasai pemberontak.
“Hanya berbicara dengan beberapa peringatan, tanpa memperhitungkan potensi yang sangat berbahaya, negatif untuk seluruh situasi di Suriah, mungkin bukan pendekatan komprehensif penuh,” papar Peskov.
Pernyataan Peskov didukung oleh Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif. Ia melakukan kunjungan mendadak ke Damaskus dan bertemu dengan Bashar al-Assad saat pasukannya bersiap melancarkan serangan ke Idlib.
Javad Zarif mengatakan, wilayah di bawah kendali pemberontak harus segera dibersihkan. Idlib, menurutnya, mesti dibawa kembali ke bawah otoritas Pemerintahan Assad.
Kunjungan Zarif ke Damaskus dilakukan ketika Teheran bersiap menjadi tuan rumah pertemuan tingkat tinggi antara para pemimpin Iran, Rusia, dan Turki untuk membahas situasi di Idlib. Pertemuan itu dijadwalkan digelar pada 7 September mendatang.
Jumat pekan lalu, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan serangan ke Idlib adalah bentuk eskalasi perang Suriah. Departemen Luar Negeri AS telah memperingatkan bahwa Washington akan menanggapi dan merespons setiap serangan senjata kimia oleh Damaskus.
Isu penggunaan senjata kimia oleh Suriah memang telah disuarakan AS menyusul rencana serangan ke Idlib.
“Semua mata tertuju pada tindakan Assad, Rusia, dan Iran di Idlib #NoChemicalWeapons,” kicau Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley melalui akun Twitternya.
PBB telah memperingatkan, serangan ke Idlib, yang dihuni 2,9 juta orang, berpotensi menciptakan keadaan darurat kemanusiaan dalam skala yang belum terlihat sebelumnya.
Jumlah warga Idlib yang membutuhkan bantuan, saat ini sudah terlampau tinggi, dan akan melonjak tajam. Sementara itu, 800 ribu orang diperkirakan terpaksa mengungsi apabila serangan besar-besaran dilancarkan disana.[IZ]