JAKARTA, (Panjimas.com) — Gerakan tagar 2019 Ganti Presiden terus saja digaungkan dibanyak tempat. Baik di sosial media maupun di deklarasikan langsung di beberapa kota di Indonesia. Bak efek bola salju, gerakan ini tampaknya akan terus menggelinding dan membesar.
Namun hal ini disikapi berbeda oleh beberapa pihak termasuk pernyataan Ali Mochtar Ngabalin selaku tenaga ahli di Kantor Staf Presiden bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi. Ngabalin mengatakan gerakan #2019GantiPresiden sebagai bagian upaya makar.
Pengamat politik sekaligus mantan Dosen Ilmu Filsafat UI, Rocky Gerung berbeda pandangan. Ia menegaskan bahwa pernyataan Ngabalin itu adalah ngaco dan berlebihan sekali. Menurutnya, kata Makar sudah tidak relevan sekali dipakai, karena istilah itu dibuat sekitar tahun 1930 pada saat pemerintahan Belanda yang ada di KUHP.
“Jadi ngaco dan dungu sekali itu kalo sampai dikatakan aksi itu adalah perbuatan makar. Otaknya sudah dungu itu kalo begitu,” ujar Rocky kepada para awak media, Rabu (29/08).
Mengenai kasus persekusi yang menimpa para penggiat gerakan #2019GantiPresiden, Rocky Gerung juga menyoroti tindakan semacam itu sebagai bentuk kekeliruan. Sebab, gerakan itu hanya sebatas pernyataan saja tidak sampai melakukan pengerahan massa untuk mengepung dan mengambil alih paksa pemerintahan yang ada. Sehingga, menurutnya alasan pembubaran dan persekusi serta tuduhan makar itu adalah suatu sikap yang berlebihan dan ngawur.
“Sebagai contoh misalnya, kalo saya ingin agar ada ganti presiden. Kemudian saya bilang bahwa saya ingin ganti presiden. Terus maka apa lantas saya dianggap makar dan saya harus diperkusi,” kata Rocky Gerung dihadapan wartawan di sebuah Hotel kawasan Menteng Jakarta Pusat.
Rocky juga menyampaikan bahwa kata makar sudah tidak relevan lagi disemangatkan di zaman milenial seperti saat ini. Bagi anak anak muda sekarang mereka bingung dan gak tahu istilah yang dibuat oleh penjajah Belanda ketika ingin melanggengkan penjajahannya terhadap Indonesia.[ES]