DHAKA, (Panjimas.com) — Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina menyatakan bahwa Myanmar menunda proses repatriasi (pemulangan kembali) para pengungsi Rohingya tanpa sebab. Hal ini disampaikan PM Hasina usai kunjungannya selama dua hari ke Nepal dalam ranga KTT BIMSTEC (Bay of Bengal Initiative for Multi-Sectoral Technical and Economic Cooperation), Blok Ekonomi tujuh negara Asia Selatan dan Asia Tenggara.
“Ketika kami berbicara, Myanmar selalu mengatakan siap untuk mengambil kembali warganya. Namun pada kenyataannya, tidak dilakukan,” ujar PM Hasina dikutip dari Andalou Ajansi, Senin (03/09).
Sheikh Hasina mengatakan, pihaknya telah membahas mengenai ratusan ribu pengungsi Rohingya yang berada di Bangladesh, saat bertemu dengan Presiden Myanmar Win Myint di KTT BIMSTEC. Myanmar mengakui perjanjian telah ditandatangani.
“Myanmar mengatakan mereka siap untuk mengambil kembali warga negara mereka,” ujar PM Hasina.
Desember lalu, Bangladesh dan Myanmar menandatangani perjanjian untuk memulangkan Rohingya, namun hingga kini prosesnya belum dimulai. Misi Pencari Fakta Independen PBB terhadap Myanmar mulai dibentuk pada Maret 2017 untuk menyelidiki dugaan terjadinya pelanggaran hak asasi yang meluas di Myanmar, khususnya negara bagian Rakhine.
Menurut Badan Pembangunan Internasional Ontario (OIDA), pada 25 Agustus 2017, Myanmar melancarkan operasi militer besar-besaran terhadap minoritas etnis Muslim. Akibatnya, hampir 24.000 warga sipil tewas serta 750.000 penduduk lainnya terpaksa melarikan diri ke Bangladesh.
ARU-ERC Tuntut Perombakan Kesepakatan Repatriasi
Uni-Arakan Rohingya, Arakan Rohingya Union (ARU) dan Dewan Rohingya Eropa, European Rohingya Council (ERC) Rabu (31/01) lalu mendesak pemerintah Myanmar untuk menegosiasikan ulang kesepakatan pemulangan pengungsi Rohingya dengan pemerintah Bangladesh.
ARU dan ERC juga menyerukan agar Myanmar mengizinkan perwakilan UNHCR dan perwakilan etnis Rohingya dari kamp-kamp pengungsian untuk menjadi pihak-pihak yang terlibat dalam kesepakatan Myanmar-Bangladesh tersebut.
Dalam pernyataan bersama, ARU dan ERC mengatakan bahwa pemerintah Myanmar harus “menangani masalah keamanan, hak asasi manusia dan kewarganegaraan yang dihadapi oleh minoritas etnis Rohingya, sebelum ada langkah yang diambil untuk memulangkan para pengungsi Rohingya dari kamp-kamp di Bangladesh ke rumah-rumah asalnya di Negara bagian Rakhine “.
ARU dan ERC juga menyuarakan keprihatinannya secara serius atas situasi keamanan di desa-desa muslim Rohingya, mereka mengatakan “serangan dan penjarahan oleh Angkatan Bersenjata Myanmar dan milisi Buddha-Rakhine telah berlangsung selama beberapa hari terakhir terakhir”, dilansir dari Anadolu.
Pemerintah Myanmar telah gagal menunjukkan bahwa Mereka “benar-benar bekerja dengan Komisi Rakhine untuk Pelaksanaan Rekomendasi Annan,” demikain menurut pernyataan bersama ARU dan ERC.
Kelompok-kelompok tersebut mendesak Myanmar untuk “bekerja sama dengan Komisi Rakhine dengan penuh transparansi serta menghormati pandangan-pandangan dan integritas para anggota Komisi, dan sepenuhnya menerapkan rekomendasi dari Komisi Annan dengan tolok ukur”.
ARU dan ERC mendesak agar pemerintah Myanmar menegosiasikan ulang kesepakatan pemulangan para pengungsi Rohingya dengan melibatkan UNHCR dan perwakilan Pengungsi Rohingya yang berasal dari kamp-kamp di Bangladesh.
ARU-ERC menyerukan agar pemerintah Myanmar dapat mengizinkan kelompok bantuan kemanusiaan dan lembaga pembangunan internasional untuk membantu pembangunan kembali desa-desa muslim Rohingya yang dihancurkan.
Pernyataan ARU-ERC juga menuntut pemerintah Myanmar untuk “memulai rencana rekonstruksi dan rehabilitasi yang ketat bagi para imigran yang kembali dalam proses pemulangan dengan berkoordinasi dengan UNHCR, kelompok bantuan internasional, dan perwakilan pengungsi Rohingya agar mereka dapat kembali ke rumah / properti asli mereka dengan tidak ada kamp transit, kamp semi-permanen, ataupun kamp-kamp permanen “.
Kesepakatan bilateral antara Myanmar dan Bangladesh, yang ditandatangani pada tanggal 23 November tahun lalu, menetapkan beberapa kondisi yang hampir tidak mungkin untuk memverifikasi hak tinggal masyarakat bahwa kesepakatan tersebut menyebutkan “orang-orang terlantar dari Myanmar” [Displaced Persons From Myanmar] dan bukan identitas etnis Rohingya yang diketahui secara luas.
Kelompok hak asasi manusia termasuk Human Rights Watch (HRW), Badan Pengungsi PBB dan Amnesty International telah menyuarakan keprihatinan mendalamnya atas kesepakatan Myanmar-Bangladesh tersebut, dengan mengatakan bahwa kesepakatan itu akan mengirim kembali para pengungsi Rohingya menjadi korban dalam tindakan-tindakan brutal di Myanmar.
Amnesty menyebutkan bahwa rencana itu “sangat prematur”, sementara HRW meminta kedua pemerintah yakni Myanmar dan Bangladesh untuk merombak kesepakatan dengan melibatkan Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi.
Awal Februari 2018, Bangladesh dan Myanmar menyelesaikan sebuah kesepakatan mengenai pengaturan fisik untuk pemulangan Rohingya dan setuju untuk mengirim kembali 100.000 penduduk Rohingya ke Myanmar pada tahap pertama.[IZ]