COX’S BAZAR, (Panjimas.com) — Aktivis Hak Azasi Manusia (HAM) yang beragama Buddha, Maung Zarni menegaskan bahwa kekejaman terhadap etnis minoritas Muslim Rohingya di Myanmar serupa dengan tindakan kekejaman Nazi di Jerman. Zarni menyerukan agar masyarakat internasional harus bertindak terhadap situasi di negara asalnya itu.
Pernyataan Maung Zarni ini disampaikan setelah Panel HAM PBB merilis laporan awal pekan ini yang mendokumentasikan kekejaman brutal Militer Myanmar. Aksi tersebut meliputi perkosaan massal, pembunuhan termasuk terhadap bayi dan anak-anak, pemukulan secara brutal dan penghilangan paksa.
Dalam laporannya, para penyelidik PBB mengatakan pelanggaran semacam itu merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti dilansir dari UNA-OIC.
“Kita menghadapi situasi saat satu negara anggota PBB yang dipimpin oleh peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi dan mitranya, para jenderal militer Burma, didapati oleh badan paling tinggi dan (paling) terpercaya lembaga hak asasi manusia di dunia seperti perbuatan Nazi Jerman,” pungkas Maung Zarni yang juga merupakan Koordinator Koalisi Pembebasan Rohingya, Sabtu (01/09).
Zarni menyatakan tindakan pemusnahan etnis adalah serupa dengan yang dilakukan Nazi. Pemusnahan etnis seperti yang terjadi di Rwanda, di Kamboja, atau terhadap Muslim Bosnia. Maung Zarni menekankan bahwa ketika satu kasus diputuskan sebagai “pemusnahan etnis”, tanggung-jawab untuk menanganinya terletak pada semua negara anggotam dikutip dari Anadolu Ajansi.
“Kewajiban moral dan politik tertinggi berada pada Dewan Keamanan (PBB),” tegasnya.
Ia menyatakan pembentukan satu Mahkamah Pidana Internasional seperti yang dilakukan untuk Rwanda atau Bosnia tidak cukup. Etnis minoritas Rohingya membutuhkan wilayah yang terlindungi agar dapat hidup secara aman dan secara normal, layaknya manusia.
Tim Misi Pencari-Fakta Independen Internasional PBB mengenai Myanmar menuntut agar para pejabat senior Militer Myanmar termasuk Panglima Angkatan Darat Jenderal Senior Min Aung Hlain diadili secara hukum di Mahkamah Pidana Internasional (ICC) karena melakukan kejahatan terhadap Muslim Rohingya.
“Harapan saya, di dunia yang ideal, (ialah) Dewan Keamanan PBB akan mensahkan suatu bentuk campur-tangan sehingga kekejaman itu dapat dihentikan dan orang Rohingya dapat diberikan kembali tanah mereka dan diperkenankan hidup secara bermartabat dan aman,” ujar Maung Zarni.
Zarni menyatakan sekarang ada banyak penduduk Rohingya yang tinggal di luar Myanmar dibandingkan yang masih berada di negeri tersebut. Khususnya setelah beberapa dasawarsa kekerasan tapi terutama operasi serangan brutal yang menargetkan mereka pada Agustus tahun lalu.
Zarni menekankan bahwa masyarakat internasional mesti menjatuhkan sanksi atas militer dan Pemerintah Myanmar, dan menyatakan kebijakan pengucilan terhadap Rohingya harus segera diakhiri.
“Muslim Rohingya “dibersihkan”, dan sasaran akhir dalam pemberlakuan sanksi terhadap Myanmar mesti “secara mendasar mengubah kebijakan Pemerintah Burma (Myanmar) dan mengubah tatanan yang telah dikerahkan oleh militer Burma dan pembuat pendapat masyarakat untuk menindas dan menghukum serta pada dasarnya menghapuskan penduduk ini,” tukasnya.
Sasaran utama dari banyak sanksi mesti memberi Rohingya perlindungan internasional dan menciptakan “wilayah otonomi tempat militer Burma takkan diperkenankan melanjutkan kekejaman. Zarni mengatakan Myanmar memiliki empat pilar utama militer, ajaran Buddha, partai politik dan masyarakat.
“Semua keempat lembaga utama ini secara tegas telah menolak Rohingya. Kami (keempat pilar) memberitahu mereka bahwa mereka bukan milik Burma; kami tak menginginkan mereka di Burma,” jelasnya.
Tim Misi Pencarian Fakta PBB menerbitkan laporannya yang menyebutkan Militer Myanmar melakukan pembunuhan massal dan pemerkosaan terhadap Rohingya dengan tujuan genosida. TPF mendesak agar para pejabat senior Militer Myanmar yang menjadi dalang kejahatan tersebut harus diadili secara hukum.
TPF PBB tersebut menemukan bahwa pasukan bersenjata Myanmar telah mengambil tindakan yang “tidak diragukan lagi merupakan kejahatan yang paling berat di bawah hukum internasional”. Tim pencari fakta PBB didirikan oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada Maret 2017.
Laporan penyidik PBB itu mengatakan jenderal militer, termasuk Panglima Tertinggi Min Aung Hlaing, harus menghadapi penyelidikan dan penuntutan untuk genosida di negara bagian Rakhine Utara. Mereka juga dituntut melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang lainnya di negara bagian Kachin, Shan, dan Rakhine.
PBB mendefinisikan genosida sebagai tindakan yang dimaksudkan untuk menghancurkan kelompok nasional, etnis, ras atau agama secara keseluruhan atau sebagian.
“Kejahatan di Negara Bagian Rakhine, dan cara di mana mereka dilakukan, memiliki kesamaan sifat, gravitasi dan ruang lingkup bagi mereka yang telah memungkinkan niat genosida untuk didirikan dalam konteks lain,” demikian menurut Tim Misi Pencari Fakta Internasional Independen PBB di Myanmar, dilansir dari Reuters.
Dalam laporan dengan 20 halaman itu, disebutkan ada informasi yang cukup untuk menjamin penyelidikan dan penuntutan para pejabat senior dalam rantai komando Tatmadaw.
Laporan itu menyebutkan militer Myanmar, yang dikenal sebagai Tatmadaw dan juga badan keamanan Myanmar lainnya terlibat dalam pelanggaran.
“Militer tidak akan pernah membenarkan pembunuhan tanpa pandang bulu, para wanita yang diperkosa, menyerang anak-anak, dan membakar seluruh desa,” jelas laporan PBB itu.
Menurut laporan tersebut, taktik Tatmadaw secara konsisten dan tidak proporsional mengancam keamanan yang sebenarnya, terutama di Negara Bagian Rakhine dan di Myanmar Utara.
Setahun yang lalu, Militer Myanmar memimpin tindakan brutal di negara Rakhine Myanmar sebagai aksi balasan atas serangan oleh Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) di 30 pos polisi perbatasan Myanmar.
Pasca insiden tersebut, lebih dari 700.000 penduduk Rohingya terpaksa melarikan diri dari penindasan dan sebagian besar kini tinggal di kamp-kamp pengungsian di Bangladesh. Laporan PBB mengatakan, tindakan Militer Myanmar termasuk membakar desa-desa Rohingya, dan ini sangat tidak proporsional terhadap ancaman keamanan yang sebenarnya.[IZ]