NEW YORK, (Panjimas.com) — Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres meminta agar Dewan Keamanan (DK) PBB mendesak Myanmar turut menyelesaikan krisis kemanusiaan yang dialami etnis Muslim Rohingya. Antonio Guterres menggambarkan situasi yang dialami Rohingya sebagai salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia.
“Saya meminta anggota Dewan Keamanan bergabung dengan saya mendesak Pemerintah Myanmar untuk bekerja sama dengan PBB dan memastikan akses segera, tanpa gangguan, serta efektif untuk lembaga dan mitranya,” pungkas Antonio Guterres dalam pidatonya di kantor Dewan Keamanan pada Selasa (28/08).
Dalam sesi di Dewan Keamana PBB, Guterres juga menceritakan pengalamannya saat mengunjungi tenda-tenda pengungsi Rohingya di Bangladesh pada Juli lalu. dirinya mengaku sangat terenyuh mendengar berbagai cerita penganiayaan dan kekejaman yang mereka alami.
“Seorang ayah menangis ketika dia menceritakan bagaimana putranya ditembak mati di depannya, ibunya dibunuh secara brutal, dan rumahnya terbakar habis. Dia berlindung di masjid hanya untuk ditemukan tentara yang menyiksanya dan membakar Alquran,” ujar Guterres, dikutip dari laman UN News.
Para pengungsi Rohingya juga mengungkapkan keinginannya untuk diakui sebagai warga negara yang sah oleh Myanmar. Karena, selama ini mereka kerap disebut imigran gelap dari Bengali.
Ia menekankan, PBB harus mengikuti kerangka yang ditetapkan mantan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan. Selama masih ada penganiayaan atau persekusi terhadap Rohingya di Rakhine, para pengungsi di Bangladesh tak boleh diizinkan kembali.
Tim Misi Pencari Fakta Independen PBB baru-baru menerbitkan laporan tentang krisis Rohingya yang terjadi di Rakhine. Dalam laporan itu, disebut bahwa apa yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya mengarah pada tindakan genosida. Laporan itu menyerukan agar para pejabat tinggi militer Myanmar, termasuk Panglima Tertinggi Min Aung Hlaing, diadili secara hukum di Pengadilan Pidana Internasional (ICC).
TPF PBB tersebut menemukan bahwa pasukan bersenjata Myanmar telah mengambil tindakan yang “tidak diragukan lagi merupakan kejahatan yang paling berat di bawah hukum internasional”. Tim pencari fakta PBB didirikan oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada Maret 2017.
Laporan penyidik PBB itu mengatakan jenderal militer, termasuk Panglima Tertinggi Min Aung Hlaing, harus menghadapi penyelidikan dan penuntutan untuk genosida di negara bagian Rakhine Utara. Mereka juga dituntut melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang lainnya di negara bagian Kachin, Shan, dan Rakhine.
PBB mendefinisikan genosida sebagai tindakan yang dimaksudkan untuk menghancurkan kelompok nasional, etnis, ras atau agama secara keseluruhan atau sebagian.
“Kejahatan di Negara Bagian Rakhine, dan cara di mana mereka dilakukan, memiliki kesamaan sifat, gravitasi dan ruang lingkup bagi mereka yang telah memungkinkan niat genosida untuk didirikan dalam konteks lain,” demikian menurut Tim Misi Pencari Fakta Internasional Independen PBB di Myanmar, dilansir dari Reuters.
Dalam laporan dengan 20 halaman itu, disebutkan ada informasi yang cukup untuk menjamin penyelidikan dan penuntutan para pejabat senior dalam rantai komando Tatmadaw.
Laporan itu menyebutkan militer Myanmar, yang dikenal sebagai Tatmadaw dan juga badan keamanan Myanmar lainnya terlibat dalam pelanggaran.
“Militer tidak akan pernah membenarkan pembunuhan tanpa pandang bulu, para wanita yang diperkosa, menyerang anak-anak, dan membakar seluruh desa,” jelas laporan PBB itu.
Menurut laporan tersebut, taktik Tatmadaw secara konsisten dan tidak proporsional mengancam keamanan yang sebenarnya, terutama di Negara Bagian Rakhine dan di Myanmar Utara.
Setahun yang lalu, Militer Myanmar memimpin tindakan brutal di negara Rakhine Myanmar sebagai aksi balasan atas serangan oleh Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) di 30 pos polisi perbatasan Myanmar.
Pasca insiden tersebut, lebih dari 700.000 penduduk Rohingya terpaksa melarikan diri dari penindasan dan sebagian besar kini tinggal di kamp-kamp pengungsian di Bangladesh. Laporan PBB mengatakan, tindakan Militer Myanmar termasuk membakar desa-desa Rohingya, dan ini sangat tidak proporsional terhadap ancaman keamanan yang sebenarnya.
Pada November 2017, Myanmar dan Bangladesh telah menyepakati proses repatriasi pengungsi dan pembentukan tim Joint Working Group. Namun pelaksanaannya masih terkendala. Ternyata, banyak dari pengungsi Rohingya di Bangladesh yang enggan pulang kembali ke Rakhine, karena takut akan penganiayaan dan penyerangan brutal Militer.
Para pengungsi Rohingya mengaku masih trauma atas kejadian yang menimpa mereka pada Agustus tahun2017 lalu. Selain itu, kesepakatan repatriasi pun tak menyinggung perihal jaminan keamanan dan keselamatan bagi warga Rohingya yang kembali.[IZ]