RAMALLAH, (Panjimas.com) — Anak-anak Palestina di wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza terus saja menjadi korban kejahatan dan kekejaman brutal Israel. Pelanggaran semena-mena terhadap hak-haknya dilakukan, bahkan banyak yang gugur menjadi martir akibat tindakan represif dan brutal Israel.
Koordinator Kemanusiaan PBB di Wilayah Pendudukan Palestina (OPT) Jamie McGoldrick, Kepala Kantor Hak Asasi Manusia (HAM) PBB di OPT James Heenan, dan Perwakilan Khusus UNICEF di Palestina Genevieve Boutin mengaku sangat pihaknya sangat prihatin atas laporan-laporan mengenai anak-anak Palestina yang terluka dan terbunuh oleh Israel.
“Bulan (Juli) ini saja, tujuh anak Palestina tewas oleh peluru tajam dan tembakan dari Israel,” pungkasnya dalam pernyataan bersama, dikutip dari UN News, Rabu (01/08).
Mereka menyoroti aksi demonstrasi massal di perbatasan Gaza-Israel yang dilakukan sejak akhir Maret lalu, yang mana lebih dari 150 warga Palestina di sana gugur menjadi martir akibat diserang pasukan keamanan Israel. Bahkan, sebanyak 26 jiwa di antara korban adalah anak-anak.
Menurutnya tak sedikit pula anak-anak yang menjadi korban luka-luka. Sejumlah anak-anak ini akan menderita cacat seumur hidup akibat amputasi dari anggota badan.
“Ribuan orang membutuhkan bantuan psiko-sosial yang mendesak, perawatan medis khusus, dan dukungan untuk rehabilitasi,” tandasnya.
Lembaga HAM PBB dan UNICEF menyayangkan sikap kelompok Hamas yang seolah mendukung anak-anak di Gaza berpartisipasi dalam demonstrasi. “Anak-anak seharusnya tidak pernah menjadi sasaran kekerasan dan tidak harus menghadapi risiko kekerasan atau didorong untuk berpartisipasi dalam kekerasan,” jelasnya.
Mereka juga menyesalkan serangan balasan kelompok perlawanan Palestina di Gaza yang turut melukai beberapa anak Israel. Menurut mereka serangan itu telah menyebabkan anak-anak Israel mengalami ketakutan dan trauma.
“Kami menyerukan kepada Israel, Otoritas Palestina, dan Hamas di Gaza untuk menempatkan hak-hak anak di depan pertimbangan lain dan untuk mengambil langkah-langkah segera guna meringankan penderitaan mereka,” ujar Jamie McGoldrick, James Heenan, dan Genevieve Boutin.
Sejak aksi demonstrasi dimulai pada 30 Maret lalu, lebih dari 150 pengunjuk rasa Palestina telah terbunuh – dan ribuan lainnya luka-luka – akibat tembakan tentara zionis Israel.
Warga Palestina di Gaza terus melakukan aksi demonstrasi berbulan-bulan di sepanjang perbatasan yang mencapai puncaknya pada tanggal 15 Mei lalu. Hari itu akan menandai peringatan 70 tahun pendirian negara Israel – sebuah acara yang disebut oleh warga Palestina sebagai peristiwa “Nakba” atau “Malapetaka”.
Para pengunjuk rasa menuntut agar para pengungsi Palestina diizinkan mendapatkan hak-haknya untuk pulang kembali ke kota-kota dan desa-desa yang keluarga mereka diami saat terpaksa melarikan diri, atau diusir dari tanah miliknya, saat negara Yahudi Israel dideklarasikan pada tahun 1948.
Para aktivis Palestina menggambarkan kamp-kamp dan tenda-tenda perkemahan itu sebagai “titik pementasan untuk kami kembali ke tanah air dari mana kami diusir pada 1948”, dikutip dari Anadolu.
Mereka juga menuntut diakhirinya blokade Israel di Jalur Gaza, yang telah menghancurkan perekonomian wilayah pesisir itu dan memutus akses dua juta penduduknya dari berbagai barang kebutuhan pokok.[IZ]