NEW YORK, (Panjimas.com) — Duta Besar Swedia untuk PBB mengatakan bahwa Dewan Kemanan PBB tidak melakukan apa-apa untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina, Selasa (31/07).
“Penyelesaian (Israel-Palestina) harus menjadi prioritas. Apakah sudah menjadi prioritas? Saya khawatir belum,” pungkas Olof Skoog, saat berbicara dalam sidang PBB pada akhir masa kepemimpinan Swedia dalam Dewan Keamanan, dilansir dari Anadolu.
Olof Skoog mengatakan peristiwa baru-baru ini “telah menjauhkan kita dari kedamaian” di wilayah tersebut, sembari mengutip kebijakan kontroversial AS saat memindahkan kedubesnya dari Tel Aviv ke Yerusalem dan UU negara-bangsa (nation-state) Yahudi Israel.
“Kami sangat dekat dengan perang Gaza lagi. Hampir setiap hari ketegangan terjadi di sana yang dapat meningkat dengan sangat cepat. Jadi ini adalah situasi yang sangat berbahaya”, tandasnya.
“Dan saya berpikir bahwa Dewan Keamanan belum cukup memperhatikan masalah itu,” tukas Skoog.
Skoog juga mengatakan Dewan Keamanan PBB telah gagal untuk mengambil pendekatan kemanusiaan di Jalur Gaza, Palestina.
Skoog menambahkan dia tidak melihat adanya pergerakan maju untuk menyelesaikan konflik itu.
Swedia menyatakan pihaknya tidak menyetujui keputusan pemindahan kedubes AS ke Yeruslaem, yang memicu perlawanan dari masyarakat internasional.
Pada 19 Juli lalu, Parlemen Israel mengesahkan undang-undang yang menyatakan negara itu adalah “negara-bangsa (nation-state) bagi orang-orang Yahudi”.
Undang-undang itu tidak mempromosikan partisipasi Palestina dalam kehidupan politik di negara itu, pungkas Skoog.
“Kami telah memastikan bahwa setiap anggota di Dewan Keamanan memahami dengan tepat kehidupan di Gaza,” imbuhnya.
UU negara Yahudi tersebut, didukung dengan 62 suara sementara ditentang oleh 55 suara, dan 2 suara abstain. UU ini menjadikan Bahasa Yahudi sebagai bahasa nasional negeri itu dan menetapkan masyarakat Yahudi sebagai prioritas kepentingan nasional.
UU ini juga memasukkan pengakuan atas Yerusalem sebagai ibukota Israel serta bahasa Yahudi sebagai bahasa resminya. Undang-undang tersebut juga memberikan para Diaspora Yahudi hak untuk pulang kembali ke Israel.
Undang-undang itu mencabut status Bahasa Arab sebagai bahasa resmi, berdampingan dengan Bahasa Yahudi di Israel.
Para pejabat dari Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) menyebut undang-undang tersebut “rasis” dan mengatakan undang-undang itu mengesahkan “apartheid”.[IZ]