COX’S BAZAR, (Panjimas.com) — Hasil penelitian yang disusun oleh LSM Anak, Save The Children Norwegia, mengungkapkan pelanggaran-pelanggaran Myanmar terhadap kewajibannya dalam konvensi hak-hak anak PBB.
Pelanggaran ini terbukti dari tindakan kekerasannya terhadap Rohingya yang menyebabkan eksodus ratusan ribu orang ke Bangladesh.
Anak-anak Rohingya bahkan termasuk hampir setengah dari total lebih dari 700 ribu Muslim Rohingya yang telah meninggalkan Myanmar.
AS menyatakan operasi militer Myanmar sebagai contoh pembersihan etnis. Namun, Myanmar membantah tuduhan itu dan berdalih melancarkan operasi kontra-pemberontakan setelah Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) menyerang pos-pos keamanan perbatasan.
Para ahli hukum yang ditugaskan oleh Save the Children Norway menganalisis penelitian oleh badan-badan PBB dan kelompok-kelompok hak asasi manusia internasional. Khususnya terkait tuduhan pembunuhan massal, pembakaran, dan penyiksaan yang dilakukan oleh pasukan keamanan Myanmar terhadap Rohingya.
“Penelitian menemukan bahwa tanggapan oleh Pemerintah Myanmar terhadap serangan-serangan pada Agustus 2017 di pos polisi, bersama dengan diskriminasi yang sedang berlangsung terhadap Rohingya, merupakan pelanggaran terhadap setidaknya tujuh artikel kunci (Konvensi PBB tentang hak-hak anak),” ungkap laporan Save the Children Norwegia.
Analisis menunjukkan bahwa pemerintah dan pasukan keamanan Myanmar terbukti melakukan tindakan bersalah. “Pemerintah Myanmar mengambil langkah positif untuk membantu operasi militer dan tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa mereka melakukan apa saja untuk membatasi atau mengutuk tindakan pasukan keamanan,” tulis laporan itu.
Myanmar menyetujui konvensi PBB tentang hak-hak anak pada 1991 dan terikat dengan hukum. Perwakilan pemerintah Myanmar dan militer tidak segera menanggapi permintaan untuk komentar.
Pelanggaran yang disorot dalam laporan termasuk kegagalan untuk melindungi anak-anak dari kekerasan, pelecehan, penelantaran, eksploitasi seksual dan lainnya, perlakuan tidak manusiawi dan penahanan.
Ini mengacu pada pembunuhan tanpa pandang bulu dan di luar hukum terhadap anak-anak Rohingya. Termasuk juga penyiksaan, perlakuan buruk dan kekerasan berbasis gender yang dilakukan terhadap mereka.
“Kegagalan pemerintah untuk melakukan penyelidikan independen terhadap peristiwa setelah serangan Agustus 2017, dan diskriminasi berkelanjutan terhadap anak-anak Rohingya dengan menolak kewarganegaraan mereka juga melanggar kewajiban Myanmar terhadap konvensi hak-hak anak,” papar laporan itu.
Laporan itu rencananya akan dipublikasikan pekan depan. “Daftar pelanggaran yang kami temukan tidak lengkap. Itu hanya merupakan pelanggaran yang paling serius dan kemungkinan besar ada beberapa yang lain,” jelas Profesor hukum pengungsi internasional di Universitas Oxford, Guy Goodwin-Gill yang turut menyusun laporan tersebut
70 Persen Anak-Anak Rohingya Kehilangan Akses Pendidikan
Lebih dari 70 persen anak-anak usia sekolah yang tinggal di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh kehilangan pendidikan, demikian menurut laporan organisasi advokasi hak anak-anak, ‘Save the Children’, Senin (02/07).
Organisasi advokasi anak terkemuka yang berbasis di London Inggris itu menuntut adanya seruan mendesak agar dipenuhinya kebutuhan “peningkatan akses pendidikan yang signifikan bagi anak-anak Rohingya.
Desakan Save the Children ini disampaikan saat Sekjen PBB Antonio Gutteres mengunjungi kamp-kamp pengungsi di Cox’s Bazar, Bangladesh.
Menurut laporan Save the Children, saat ini terdapat sekitar 327 ribu anak-anak pengungsi Rohingya di Bangladesh. Mereka tiba di sana setelah terjadinya kekerasan brutal, pembunuhan, dan serangan seksual di Negara Bagian Rakhine Myanmar Utara pada 25 Agustus tahun 2017 lalu.
Sejak 25 Agustus 2017, lebih dari 750.000 pengungsi, sebagian besar anak-anak dan perempuan, terpaksa melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan tindakan kekerasan terhadap komunitas Muslim minoritas, menurut Amnesty International.
Saat tinggal di kamp-kamp pengungsian, anak-anak Rohingya ini kehilangan aksesnya pada pendidikan dasar misalnya seperti kemampuan baca dan tulis.
“Mereka kehilangan hak untuk mempelajari keterampilan dasar seperti membaca dan menulis, yang akan memberdayakan mereka untuk membangun masa depan yang lebih cerah bagi diri mereka sendiri dan keluarga mereka,” pungkas Mark Pierce, Direktur Save the Children Bangladesh, dilansir dari Anadolu Ajansi.
“Ini adalah pembentukan seluruh generasi anak-anak untuk masa depan yang sangat suram,” imbuh Pierce.
“Anak-anak Rohingya yang memiliki akses ke kesempatan belajar informal di kamp-kamp, sebagian besar menghadiri sesi yang hanya berlangsung selama dua jam saja per harinya, dan seringkali pada tingkatan kelas yang jauh di bawah usia mereka,” imbuh Pierce.
Oleh karena itu, kebutuhan akan pendidikan berkualitas untuk membantu anak-anak pengungsi sangat mendesak dan diperlukan. Mark Pierce mendesak PBB, Bank Dunia, dan pemerintah Bangladesh untuk bertindak menyelesaikan persoalan akses pendidikan ini.
“Ketika Sekretaris Jenderal PBB, Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi, dan Presiden Bank Dunia mengunjungi kamp-kamp pengungsi dan menyaksikan kondisi suram yang dialami anak-anak Rohingya, kami mendesak mereka untuk melakukan segala upaya untuk meningkatkan penyediaan pendidikan berkualitas dan memberi anak-anak harapan untuk masa depan,” pungkas Pierce.
“Kami juga mendesak Pemerintah Bangladesh untuk mengakui hak anak-anak pengungsi Rohingya untuk mendapat akses pendidikan dan memastikan mereka memiliki akses ke kesempatan belajar yang aman, berkualitas, dan inklusif ketika mereka mengungsi,” tegas Mark Pierce.
“Kami terus menyerukan solusi jangka panjang untuk krisis kemanusiaan yang memungkinkan repatriasi (pemulangan kembali) secara aman, bermartabat, dan dengan sukarela dari Rohingya, yang menghormati hak-hak dasar anak dan keluarga mereka, didukung oleh hukum internasional,” tandas Pierce.
Saat ini Save the Children mengelola sekitar 100 pusat belajar untuk anak-anak pengungsi Rohingya di Bangladesh. Selain mengadvokasikan masalah hak anak, Save the Children juga mendorong proses repatriasi pengungsi yang aman dan bermartabat bagi ratusan ribu penduduk Rohingya.[IZ].