COX’S BAZAR (Panjimas..com) — Pihak berwenang Myanmar terbukti melakukan “persiapan besar-besaran dan sistematis” dalam operasi penyerangan terhadap warga Muslim Rohingya selama beberapa pekan dan bulanan sebelum Milisi Rohingya menyerang pos polisi di perbatasan pada Agustus 2017, demikian pernyataan kelompok hak asasi manusia yang berbasis di Bangkok dalam laporan yang dirilis Kamis (19/07) lalu.
Laporan Fortify Rights tersebut mengungkapkan “alasan yang masuk akal” bahwa kejahatan terhadap warga Muslim Rohingya merupakan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan kelas berat.
Dalam laporannya Fortify Rights mengidentifikasi 22 pejabat militer dan polisi Myanmar yang mereka sebut harus diselidiki secara kriminal atas peranan mereka dalam kekejaman tersebut.
Laporan Fortify Rights juga mendesak Dewan Keamanan PBB untuk segera membawa situasi di Myanmar ke Pengadilan Pidana Kriminal Internasional (International Criminal Court).
“Genosida tidak terjadi secara spontan,” pungkas Matthew Smith, CEO Fortify Rights, seperti dilansir dari Anadolu Ajansi.
“Impunitas (pengabaian) atas kejahatan ini akan membuka jalan bagi lebih banyak pelanggaran dan serangan di masa depan. Dunia tidak bisa hanya duduk diam dan menonton genosida terjadinya lain, tetapi sekarang, itulah yang terjadi,” tandasnya.
Laporan tersebut menyebutkan setidaknya 27 batalion Militer Myanmar, termasuk 11.000 tentara, bersama dengan sedikitnya 3 batalion polisi tempur dengan sekitar 900 personel polisi, terlibat dalam serangan di negara bagian Rakhine Utara yang dimulai pada 25 Agustus 2017.
“Kejahatan ini tidak terjadi secara spontan atau sebagai peristiwa yang terpisah; mereka membutuhkan sumber daya dan keputusan dari orang-orang dalam posisi berkuasa,” jelas laporan Fortify Rights.
Laporan ini didasarkan pada investigasi selama 21 bulan, dengan 254 wawancara, yang dilakukan oleh Fortify Rights di Myanmar dan Bangladesh.
Kelompok hak asasi juga mewawancarai para saksi mata dan korban Rohingya, personil militer dan polisi Myanmar, pejabat militer dan pemerintah Bangladesh, dan anggota serta mantan anggota Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), papar laporan Fortify Rights itu.
Krisis Rohingya
Sejak 25 Agustus 2017, lebih dari 750.000 pengungsi Rohingya, sebagian besar anak-anak dan perempuan, telah melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan tindakan keras terhadap komunitas minoritas Muslim, menurut Amnesty International.
Etnis Rohingya, digambarkan oleh PBB sebagai etnis yang paling teraniaya dan tertindas di dunia, Mereka telah menghadapi ketakutan tinggi akibat serangan pasukan Myanmar dan para ektrimis Buddha.
Sedikitnya 9.000 Rohingya dibantai di negara bagian Rakhine mulai 25 Agustus hingga 24 September, demikian menurut laporan Doctors Without Borders [MSF].
Dalam laporan yang diterbitkan pada 12 Desember lalu, organisasi kemanusiaan global itu mengatakan bahwa kematian 71,7 persen atau 6.700 Muslim Rohingya disebabkan oleh kekerasan. Diantara para korban jiwa itu, termasuk 730 anak di bawah usia 5 tahun.
Dilaporkan bahwa lebih dari 647.000 penduduk Rohingya terpaksa menyeberang dari Myanmar ke Bangladesh sejak 25 Agustus 2017 ketika Tentara Myanmar melancarkan tindakan brutal dan kejam terhadap Minoritas Muslim itu, sementara itu menurut angka PBB, jumlahnya adalah 656.000 jiwa.
Para pengungsi Rohingya tersebut melarikan diri dari operasi militer brutal Myanmar yang telah melihat pasukan militer dan massa ektrimis Budhdha membunuhi pria, wanita dan anak-anak, bahkan menjarah rumah-rumah dan membakar desa-desa Muslim Rohingya.[IZ]