NEW YORK, (Panjimas.com) — Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerukan bantuan internasional lebih besar bagi para pengungsi Rohingya yang kini tinggal di Asia Tenggara dan Selatan, terutama negara tetangga Bangladesh.
Utusan Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Myanmar Christine Schraner Burgener menekankan perlunya bantuan lebih besar dari masyarakat internasional bagi pengungsi dan warga penampung mereka dalam menangani “kondisi berat” yang terus mereka hadapi dan juga dalam upaya mitigasi dampak muson, demikian pernyataannya dalam siaran pers, Selasa (17/07).
Komisariat Tinggi PBB Urusan Pengungsi (UNHCR) mengatakan lebih dari satu juta warga Rohingya telah meninggalkan rumah-rumah mereka di Negara Bagian Rakhine, Myanmar Utara, sejak Agustus tahun lalu, ketika serangan gerilyawan terhadap pos keamanan memicu gelombang pemerkosaan, pembunuhan dan pembakaran desa-desa muslim Rohingya oleh ekstrimis Buddha Rakhine, tentara dan pasukan pemerintah.
Pengungsi Rohingya kemudian terpaksa menyelamatkan diri sampai ke wilayah Malaysia dan Indonesia, tetapi banyak pula yang melarikan diri ke negara tetangga Myanmar, seperti Bangladesh.
Utusan khusus PBB untuk Myanmar baru saja mengakhiri kunjungan resmi ke Bangladesh dari 14 sampai 16 Juli lalu. Di ibu kota Bangladesh, Dhaka, dia bertemu dengan Perdana Menteri Sheikh Hasina, masyarakat diplomatik dan tim PBB di negeri itu.
“Krisis yang berlangsung memerlukan penyelesaian politik yang bisa mengatasi pangkal masalah tersebut,” ujar Schraner Burgener, Utusan Khusus PBB dalam pernyataan yang dikeluarkan di Markas Besar PBB di New York.
Di Cox`s Bazar, Bangladesh, Burgener mengunjungi kamp pengungsian yang menampung lebih dari 600.000 pengungsi Rohingya dan mendengarkan kesaksian mengenai kekejaman yang terjadi di Negara Bagian Rakhine. Utusan khusus PBB merasa “sangat terenyuh” mendengar kisah-kisah para pengungsi dan keuletan mereka.
Dalam semua pembahasan selama kunjungannya, utusan khusus Christine Schraner Burgener menekankan pentingnya pertanggung-jawaban atas kejahatan yang dilakukan rezim Myanmar
Ia juga menyampaikan dukungannya bagi penerapan Nota Kesepahaman (23 November 2017 antara Pemerintah Bangladesh dan Myanmar, dan Nota Kesepahaman 6 Juni antara Pemerintah Myanmar, UNHCR dan Program Pembangunan PBB (UNDP) sebagai langkah pertama yang penting.
Penerapan kesepakatan tersebut, menurutnya, harus dimulai sesegera mungkin bersama dengan langkah lain ke arah “lingkungan yang kondusif bagi pemulangan secara sukarela, aman, bermartabat dan berkelanjutan” pengungsi ke tempat asal atau negara pilihan mereka.
Yang menjadi prioritasnya ialah membantu menangani pangkal krisis tersebut, termasuk melalui pelaksanaan rekomendasi Advisory Commission on Rakhine State, khususnya berkenaan dengan pembatasan hak dasar seperti kebebasan bergerak dan penyelesaian masalah kewarganegaraan.
Myanmar tidak memberikan status kewarganegaraan kepada Rohingya, dan menganggap mereka sebagai warga Bengali, yang tinggal secara tidak sah di Myanmar –yang mayoritas warganya adalah pemeluk Buddha.
Ada kondisi mendesak bagi pihak terkait untuk melakukan tindakan nyata ke arah sasaran nota-nota kesepamahan tersebut, kata utusan PBB itu, menambahkan bahwa PBB siap menyediakan keahlian dan pengalaman yang berkaitan dengan masalah tersebut.
Utusan PBB juga menyerukan diberikannya perhatian bagi pentingnya prinsip-prinsip PBB, termasuk peningkatan dan perlindungan hak asasi manusia.
Pejabat PBB lain yang mengunjungi kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh, William Lacy Swing, Kepala Badan Migrasi PBB (IOM), mengatakan penting bagi dunia untuk tetap memusatkan perhatian pada krisis tersebut.
Dia memperingatkan bahwa musim hujan mengubah banyak lereng gunung menjadi lumpur dan hanya terkumpul seperempat dana yang diminta sejauh ini untuk seluruh respons, kebanyakan kemajuan yang dibuat dalam beberapa bulan belakangan sangat terancam.
Sebagaimana dikutip Xinhua News, Lacy Swing juga mengatakan bahwa, selain keperluan pengungsi, krisis itu memiliki dampak yang sangat besar pada masyarakat penampung, masalah yang juga perlu ditangani.
Krisis Rohingya
Sejak 25 Agustus 2017, lebih dari 750.000 pengungsi Rohingya, sebagian besar anak-anak dan perempuan, telah melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan tindakan keras terhadap komunitas minoritas Muslim, menurut Amnesty International.
Etnis Rohingya, digambarkan oleh PBB sebagai etnis yang paling teraniaya dan tertindas di dunia, Mereka telah menghadapi ketakutan tinggi akibat serangan pasukan Myanmar dan para ektrimis Buddha.
Sedikitnya 9.000 Rohingya dibantai di negara bagian Rakhine mulai 25 Agustus hingga 24 September, demikian menurut laporan Doctors Without Borders [MSF].
Dalam laporan yang diterbitkan pada 12 Desember lalu, organisasi kemanusiaan global itu mengatakan bahwa kematian 71,7 persen atau 6.700 Muslim Rohingya disebabkan oleh kekerasan. Diantara para korban jiwa itu, termasuk 730 anak di bawah usia 5 tahun.
Dilaporkan bahwa lebih dari 647.000 penduduk Rohingya terpaksa menyeberang dari Myanmar ke Bangladesh sejak 25 Agustus 2017 ketika Tentara Myanmar melancarkan tindakan brutal dan kejam terhadap Minoritas Muslim itu, sementara itu menurut angka PBB, jumlahnya adalah 656.000 jiwa.
Para pengungsi Rohingya tersebut melarikan diri dari operasi militer brutal Myanmar yang telah melihat pasukan militer dan massa ektrimis Budhdha membunuhi pria, wanita dan anak-anak, bahkan menjarah rumah-rumah dan membakar desa-desa Muslim Rohingya.[IZ]