JUBA, (Panjimas.com) — Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) baru-baru ini menjatuhkan embargo senjata terhadap Sudan Selatan Jumat (13/07), kebijakan ini diberlakukan setelah hampir lima tahun perang sipil bergolak di negara itu.
Resolusi rancangan Amerika Serikat (AS) soal penetapan embargo itu memerlukan dukungan sedikit-dikitnya sembilan suara, dikutip dari Reuters.
Sementara itu, Rusia, China, Ethiopia, Bolivia, Guinea Khatulistiwa dan Kazakhstan memilih abstain. Mereka berhati-hati atas pemungutan suara di tengah upaya di kawasan itu untuk menghidupkan kembali upaya perdamaian Sudan Selatan.
Negara Barat beserta sejumlah pejabat tinggi PBB telah sekian lama mendesak agar embargo senjata diterapkan atas Sudan Selatan.
Upaya AS menerapkan langkah tersebut pada Desember 2016, di bawah pemerintahan Presiden Barack Obama, tidak berhasil mendapatkan suara dalam jumlah cukup.
Sudan Selatan, yang pada tahun 2011 berpisah dari tetangganya di Utara, Sudan, dan kini terbelenggu perang sipil sejak tahun 2013.
Perang itu disulut persaingan politik antara Presiden Salva Kiir dan mantan wakilnya, Riek Machar.
PBB menuding semua pihak melakukan pembantaian massal.
PBB pun mengkhawatirkan kemungkinan terjadinya pembersihan etnis suku tertentu.
Pasukan penjaga perdamaian PBB dikerahkan di wilayah itu sejak Sudan Selatan meraih kemerdekaan pada 2011.
Jumat lalu, pemerintah dan oposisi menandatangani kesepakatan soal pengaturan keamanan, yang merupakan tindak lanjut dari gencatan senjata bulan lalu.
Sebelum pemungutan suara dilakukan, Duta Besar Ethiopia untuk PBB, Tekeda Alemu, mengatakan kepada Dewan Keamanan PBB bahwa embargo senjata akan merusak proses perdamaian.
Tekeda Alemu juga mengatakan bahwa Uni Afrika beserta kelompok kawasan Afrika Timur, IGAD, meyakini bahwa “sekarang bukan saat yang tepat untuk menerapkan tindakan seperti itu”.
Duta Besar China untuk PBB Ma Zhaoxu mengatakan Dewan Keamanan PBB harus mendengarkan pandangan para pemimpin Afrika mengenai masalah tersebut.
Sementara itu, Duta Besar Sudan Selatan untuk PBB Akuei Bona Malwal, mengatakan kepada DK PBB bahwa resolusi tersebut akan “merongrong perdamaian” dan adalah “tamparan bagi organisasi yang berusaha membawa perdamaian di Sudan Selatan”.
Namun, parlemen Sudan Selatan pada Kamis (12/07) memutuskan untuk memperpanjang mandat Kiir hingga 2021. Langkah itu kemungkinan akan merusak pembicaraan perdamaian karena kelompok-kelompok oposisi telah menyatakan akan menganggap perubahan sebagai tindakan ilegal.
Duta Besar Inggris untuk PBB Karen Pierce mengatakan usai pemungutan suara, “Resolusi ini bukan soal proses perdamaian. Resolusi ini dirancang untuk melindungi rakyat Sudan Selatan. Kami berharap proses perdamaian berlanjut”, tandasnya.[IZ]