JENEWA, (Panjimas.com) — Kepala Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, Zeid Ra’ad al-Hussein mengatakan Myanmar menangkap puluhan pengungsi Rohingya yang mencoba pulang kembali ke tanah airnya, Rabu (04/07). Ra’ad Al Hussein pun meragukan ketulusan program repatriasi (pemulangan kembali) pemerintah Myanmar.
Myanmar mengatakan siap menerima kembali sebagian dari 700.000 muslim Rohingya yang mengungsi ke Bangladesh sejak Agustus 2017. Namun, sejauh ini kurang dari 200 orang yang dimukimkan kembali di tanah air mereka di negara bagian Rakhine, Myanmar Utara.
Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Zeid Ra’ad Al Hussein mengatakan kantornya menerima laporan bahwa 58 warga Rohingya yang berusaha pulang ke Rakhine ditangkap dan dihukum atas tuduhan yang tidak diungkapkan.
“Mereka kemudian mendapatkan grasi, tapi hanya dipindahkan dari penjara Buthidaung ke ‘pusat penerimaan’ yang kondisinya tampaknya sama saja dengan penahanan administratif,” pungkas Zeid dalam laporannya mengenai krisis Rohingya di Dewan Hak Asasi Manusia PBB.
“Perwakilan pemerintah telah berulang kali menyatakan bahwa Myanmar siap untuk menerima orang-orang yang kembali, namun banyak atau setidaknya beberapa dari mereka yang pulang atas kemauan sendiri ditahan,” tandas Zeid Ra’ad al-Hussein.
Myanmar telah menandatangani perjanjian dengan Bangladesh dan PBB yang menetapkan kerangka kerja untuk repatriasi Rohingya dalam skala besar.
Namun, hanya segelintir pengungsi yang memutuskan pulang, sementara pejabat bantuan senior menegaskan bahwa Rakhine masih terlalu berbahaya untuk program repatriasi.
Zeid mengatakan ada bukti bahwa kekejaman di Rakhine sedang berlangsung, termasuk pembunuhan dan pembakaran rumah-rumah Rohingya.
Ia menambahkan, lebih dari 11.000 orang melarikan diri dari Rakhine tahun ini, di mana hal itu sebagai tanda kekejaman, dan masih memaksa orang-orang untuk melarikan diri.
Tuntutan Perombakan Kesepakatan Repatriasi
Uni-Arakan Rohingya, Arakan Rohingya Union (ARU) dan Dewan Rohingya Eropa, European Rohingya Council (ERC) Akhir Januari lalu mendesak pemerintah Myanmar untuk menegosiasikan ulang kesepakatan pemulangan pengungsi Rohingya dengan pemerintah Bangladesh.
ARU dan ERC juga menyerukan agar Myanmar mengizinkan perwakilan UNHCR dan perwakilan etnis Rohingya dari kamp-kamp pengungsian untuk menjadi pihak-pihak yang terlibat dalam kesepakatan Myanmar-Bangladesh tersebut.
Dalam pernyataan bersama, ARU dan ERC mengatakan bahwa pemerintah Myanmar harus “menangani masalah keamanan, hak asasi manusia dan kewarganegaraan yang dihadapi oleh minoritas etnis Rohingya, sebelum ada langkah yang diambil untuk memulangkan para pengungsi Rohingya dari kamp-kamp di Bangladesh ke rumah-rumah asalnya di Negara bagian Rakhine “.
ARU dan ERC juga menyuarakan keprihatinannya secara serius atas situasi keamanan di desa-desa muslim Rohingya, mereka mengatakan “serangan dan penjarahan oleh Angkatan Bersenjata Myanmar dan milisi Buddha-Rakhine telah berlangsung selama beberapa hari terakhir terakhir”, dilansir dari Anadolu.
Pemerintah Myanmar telah gagal menunjukkan bahwa Mereka “benar-benar bekerja dengan Komisi Rakhine untuk Pelaksanaan Rekomendasi Annan,” demikain menurut pernyataan bersama ARU dan ERC.
Kelompok-kelompok tersebut mendesak Myanmar untuk “bekerja sama dengan Komisi Rakhine dengan penuh transparansi serta menghormati pandangan-pandangan dan integritas para anggota Komisi, dan sepenuhnya menerapkan rekomendasi dari Komisi Annan dengan tolok ukur”.
ARU dan ERC mendesak agar pemerintah Myanmar menegosiasikan ulang kesepakatan pemulangan para pengungsi Rohingya dengan melibatkan UNHCR dan perwakilan Pengungsi Rohingya yang berasal dari kamp-kamp di Bangladesh.
ARU-ERC menyerukan agar pemerintah Myanmar dapat mengizinkan kelompok bantuan kemanusiaan dan lembaga pembangunan internasional untuk membantu pembangunan kembali desa-desa muslim Rohingya yang dihancurkan.
Pernyataan ARU-ERC juga menuntut pemerintah Myanmar untuk “memulai rencana rekonstruksi dan rehabilitasi yang ketat bagi para imigran yang kembali dalam proses pemulangan dengan berkoordinasi dengan UNHCR, kelompok bantuan internasional, dan perwakilan pengungsi Rohingya agar mereka dapat kembali ke rumah / properti asli mereka dengan tidak ada kamp transit, kamp semi-permanen, ataupun kamp-kamp permanen “.
Kesepakatan bilateral antara Myanmar dan Bangladesh, yang ditandatangani pada tanggal 23 November tahun lalu, menetapkan beberapa kondisi yang hampir tidak mungkin untuk memverifikasi hak tinggal masyarakat bahwa kesepakatan tersebut menyebutkan “orang-orang terlantar dari Myanmar” [Displaced Persons From Myanmar] dan bukan identitas etnis Rohingya yang diketahui secara luas.
Kelompok hak asasi manusia termasuk Human Rights Watch (HRW), Badan Pengungsi PBB dan Amnesty International telah menyuarakan keprihatinan mendalamnya atas kesepakatan Myanmar-Bangladesh tersebut, dengan mengatakan bahwa kesepakatan itu akan mengirim kembali para pengungsi Rohingya menjadi korban dalam tindakan-tindakan brutal di Myanmar.
Amnesty menyebutkan bahwa rencana itu “sangat prematur”, sementara HRW meminta kedua pemerintah yakni Myanmar dan Bangladesh untuk merombak kesepakatan dengan melibatkan Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi.
Awal bulan Februari lalu, Bangladesh dan Myanmar menyelesaikan sebuah kesepakatan mengenai pengaturan fisik untuk pemulangan Rohingya dan setuju untuk mengirim kembali 100.000 penduduk Rohingya ke Myanmar pada tahap pertama.[IZ]