ZAMBOANGA, (Panjimas.com) — Ribuan warga sipil terpaksa melarikan diri akibat pertempuran tentara pemerintah dengan gerilyawan BIFF yang berusaha menduduki sebuah kota kecil di Filipina Selatan, demikian menurut pernyataan Angkatan Bersenjata Filipina, Rabu (04/07).
Komandan Batalion Infantri Ke-33 Angkatan Darat, Letnan Kolonel Harold Cabunoc, mengatakan 500 warga terpaksa meninggalkan desa mereka di Datu Paglas, sebuah kota kecil di Provinsi Maguindanao, Selasa (03/07) lalu, menyusul operasi militer serangan terhadap BIFF, yang dipimpin oleh Sulaiman Tudon.
Letkol. Cabunoc mengatakan pihaknya berhasil membunuh empat anggota BIFF dan dua personil lainnya luka-luka dalam bentrokan pada Selasa (03/07), yang berlangsung selama tujuh jam itu. Dua prajurit dan satu anggota milisi juga dikabarkan mengalami luka-luka, ujarnya menambahkan.
Cabunoc mengatakan pasukan keamanan menggagalkan upaya baru gerilyawan untuk menduduki kota tersebut.
Baku-tembak pada Selasa di Datu Paglas adalah bagian dari operasi serangan militer yang dilancarkan dua pekan lalu terhadap BIFF di seluruh Liguasan Marsh di Cotabato Utara dan Maguindanao.
Gagasan bagi Dialog Internasional (IDD), organisasi non-pemerintah untuk mewujudkan perdamaian yang berpusat di Mindanao, mengatakan di dalam satu pernyataan sebanyak 5.136 keluarga, atau 23.465 orang, dipaksa menyelamatkan diri dari kota praja di Pagalungan, Datu Montawal, Sultan sa Barongis, General SK Pendatun dan Pikit, dilansir dari Xinhua News.
Jumlah warga desa yang meninggalkan rumah-rumah mereka diperkirakan bertambah saat intensitas operasi militer meningkat dan BIFF diperkirakan melancarkan pembalasan, ungkap IDD.
Direktur Pelaksana IDD Gus Miclat menyampaikan keprihatinan mengenai keselamatan warga sipil yang terjebak dalam konflik.
“Dalam waktu dekat, selain dari menjamin keselamatan dan keamanan warga sipil dalam operasi militer yang dilancarkan oleh pasukan pemerintah, kami meminta tanggung-jawab negara untuk melindungi dan melaksanakan hak asasi orang yang menjadi pengungsi di dalam negeri mereka (IDP) selama pengungsian sampai kepulangan mereka secara aman dan bermartabat ke tempat asal mereka,” tandas Miclat.
Miclat menambahkan, “Kami benar-benar terkejut dan terganggu oleh kemungkinan banyaknya korban jiwa –kebanyakan perempuan dan anak-anak– jika konflik tersebut berlanjut. Yang lebih buruk, ini terjadi di tengah semua pembicaraan besar mengenai proses perdamaian yang menangani pangkal konflik di Mindanao? Ini harus dihentikan.”
Lebih dari delapan bulan setelah pasukan keamanan Filipina berhasil merebut kota Marawi dari kelompok IS yang menduduki kota di Filipina Selatan itu pada Mei 2017, ribuan warga Marawi kini masih hidup di pusat pengungsian yang didirikan oleh pemerintah.[IZ]