COX’S BAZAR, (Panjimas.com) — Lebih dari 70 persen anak-anak usia sekolah yang tinggal di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh kehilangan pendidikan, demikian menurut laporan organisasi advokasi hak anak-anak, ‘Save the Children’, Senin (02/07).
Organisasi advokasi anak terkemuka yang berbasis di London Inggris itu menuntut adanya seruan mendesak agar dipenuhinya kebutuhan “peningkatan akses pendidikan yang signifikan bagi anak-anak Rohingya.
Desakan Save the Children ini disampaikan saat Sekjen PBB Antonio Gutteres mengunjungi kamp-kamp pengungsi di Cox’s Bazar, Bangladesh.
Menurut laporan Save the Children, saat ini terdapat sekitar 327 ribu anak-anak pengungsi Rohingya di Bangladesh. Mereka tiba di sana setelah terjadinya kekerasan brutal, pembunuhan, dan serangan seksual di Negara Bagian Rakhine Myanmar Utara pada 25 Agustus tahun 2017 lalu.
Sejak 25 Agustus 2017, lebih dari 750.000 pengungsi, sebagian besar anak-anak dan perempuan, terpaksa melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan tindakan kekerasan terhadap komunitas Muslim minoritas, menurut Amnesty International.
Saat tinggal di kamp-kamp pengungsian, anak-anak Rohingya ini kehilangan aksesnya pada pendidikan dasar misalnya seperti kemampuan baca dan tulis.
“Mereka kehilangan hak untuk mempelajari keterampilan dasar seperti membaca dan menulis, yang akan memberdayakan mereka untuk membangun masa depan yang lebih cerah bagi diri mereka sendiri dan keluarga mereka,” pungkas Mark Pierce, Direktur Save the Children Bangladesh, dilansir dari Anadolu Ajansi.
“Ini adalah pembentukan seluruh generasi anak-anak untuk masa depan yang sangat suram,” imbuh Pierce.
“Anak-anak Rohingya yang memiliki akses ke kesempatan belajar informal di kamp-kamp, sebagian besar menghadiri sesi yang hanya berlangsung selama dua jam saja per harinya, dan seringkali pada tingkatan kelas yang jauh di bawah usia mereka,” imbuh Pierce.
Oleh karena itu, kebutuhan akan pendidikan berkualitas untuk membantu anak-anak pengungsi sangat mendesak dan diperlukan. Mark Pierce mendesak PBB, Bank Dunia, dan pemerintah Bangladesh untuk bertindak menyelesaikan persoalan akses pendidikan ini.
“Ketika Sekretaris Jenderal PBB, Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi, dan Presiden Bank Dunia mengunjungi kamp-kamp pengungsi dan menyaksikan kondisi suram yang dialami anak-anak Rohingya, kami mendesak mereka untuk melakukan segala upaya untuk meningkatkan penyediaan pendidikan berkualitas dan memberi anak-anak harapan untuk masa depan,” pungkas Pierce.
“Kami juga mendesak Pemerintah Bangladesh untuk mengakui hak anak-anak pengungsi Rohingya untuk mendapat akses pendidikan dan memastikan mereka memiliki akses ke kesempatan belajar yang aman, berkualitas, dan inklusif ketika mereka mengungsi,” tegas Mark Pierce.
“Kami terus menyerukan solusi jangka panjang untuk krisis kemanusiaan yang memungkinkan repatriasi (pemulangan kembali) secara aman, bermartabat, dan dengan sukarela dari Rohingya, yang menghormati hak-hak dasar anak dan keluarga mereka, didukung oleh hukum internasional,” tandas Pierce.
Saat ini Save the Children mengelola sekitar 100 pusat belajar untuk anak-anak pengungsi Rohingya di Bangladesh. Selain mengadvokasikan masalah hak anak, Save the Children juga mendorong proses repatriasi pengungsi yang aman dan bermartabat bagi ratusan ribu penduduk Rohingya.[IZ]