JENEWA, (Panjimas.com) — Pelapor Khusus PBB untuk situasi hak asasi manusia di Myanmar baru-baru ini mendesak Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) untuk menyelidiki dan menuntut mereka yang bertanggung jawab atas kemungkinan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Myanmar, Rabu (27/06).
“Saya sangat percaya bahwa pertanggungjawaban atas kejahatan yang dilakukan adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri siklus kekerasan yang dihadapi oleh rakyat Myanmar,” pungkas Yanghee Lee kepada Dewan HAM PBB, dilansir dari Anadolu Ajansi.
Pakar PBB ini meminta Dewan Hak Asasi Manusia PBB untuk mendukung upaya penyelidikan dan penuntutan di ICC terhadap mereka yang bertanggung jawab atas dugaan kejahatan perang.
Yanghee Lee mengatakan bukti-bukti yang kredibel ada mengenai pelanggaran hak asasi manusia termasuk serangan meluas dan sistematis oleh pasukan keamanan Myanmar terhadap komunitas Muslim Rohingya, yang memungkinkan kejahatan terhadap kemanusiaan.
“Saya sangat merekomendasikan orang-orang yang diduga bertanggung jawab atas pelanggaran hukum hak asasi manusia internasional dan pelanggaran hukum humaniter internasional untuk diselidiki dan dituntut oleh ICC atau mekanisme yang kredibel,” tandas Lee.
“Untuk mempersiapkan penyelidikan dan penuntutan yang kredibel, dan untuk akhirnya mengakhiri beberapa dekade kejahatan seperti itu dan untuk mengambil langkah-langkah efektif untuk membawa keadilan, saya merekomendasikan bahwa Dewan (HAM PBB) menetapkan mekanisme pertanggungjawaban di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa tanpa penundaan ,” ujarnya menambahkan.
Lee juga mencatat tentang “kemungkinan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan oleh pasukan keamanan di daerah perbatasan Myanmar lainnya, termasuk pada etnis Kachin dan Negara-negara Shan, di mana populasi etnis telah mengalami konflik berkepanjangan sejak lama setelah Myanmar merdeka tahun 1948.”
Lee menyuarakan “keprihatinan mendalam tentang ketidakmampuan Dewan Keamanan PBB untuk bersatu untuk merujuk situasi ke ICC, dan mendesak Dewan Hak Asasi Manusia PBB, agar menjadikan isu ini sebagai hal yang mendesak, untuk mendukung usulannya dalam membentuk mekanisme akuntabilitas internasional.”
Kunjungi Bangladesh
Pelapor khusus PBB untuk situasi hak asasi manusia di Myanmar Yanghee Lee dilaporkan mengunjungi kamp-kamp pengungsian Rohingya di ibukota Bangladesh Dhaka dan Cox Bazar pada 29 Juni-8 Juli ini.
“[Yanghee] Lee menyesalkan bahwa Pemerintah Myanmar terus menolak aksesnya meskipun ada seruan dari Dewan Hak Asasi Manusia PBB kepada Myanmar untuk bekerja sama dengan mandatnya,” jelas PBB dalam pernyataan, Kamis (28/06), dikutip dari Anadolu.
“Dia [Yanghee Lee] bertekad untuk menjangkau sebanyak mungkin bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia di Myanmar yang berada di tempat lain dan lokasi lain untuk belajar lebih banyak tentang pengalaman mereka untuk memahami situasi hak asasi manusia di Myanmar,” demikian pernyataan PBB.
Setelah kunjungannya ke Bangladesh, dia akan mengeluarkan pernyataan dan membagikan temuannya ketika dia akan menyajikan laporan ke sesi ke-73 Majelis Umum PBB pada Oktober 2018 mendatang.
Pidato Lee di Majelis Umum PBB 2017
Saat berbicara dalam Sidang Majelis Umum PBB di New York, Yanghee Lee mempresentasikan laporannya tentang situasi hak asasi manusia di Myanmar.
Lee menunjukkan meluasnya penggunaan ujaran serta provokasi kebencian terhadap komunitas Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine bagian Barat, Ia menekankan bahwa hal itu berarti hasutan permusuhan dan bahkan tindak kekerasan.
“Ini telah dibudidayakan selama beberapa dekade di benak rakyat Myanmar bahwa Rohingya tidak menjadi penduduk asli negara tersebut dan oleh karena itu [Rohingya] tidak memiliki hak apapun yang dapat mereka klaim,” jelas Lee, seperti dilansir Anadolu Ajensi.
Dia juga mendesak akses penuh untuk Tim Misi Pencari Fakta [TPF] Hak Asasi Manusia di negara bagian Rakhine.
Lee juga menyebutkan laporan tentang insiden intoleransi agama terhadap para pemeluk Kristen dan Muslim di Myanmar.
Ia juga meminta pemerintah Myanmar “untuk secara terbuka merangkul semua masyarakat” dan juga “untuk membatalkan semua undang-undang yang diskriminatif”, untuk menunjukkan bahwa semua kelompok di Myanmar memiliki hak-hak yang sama .
“Menurut saya, legislasi nasional secara efektif menghasilkan kriminalisasi ekspresi secara sah,” ujar Pakar HAM PBB itu.
Krisis Rohingya
Sejak 25 Agustus 2017, lebih dari 750.000 pengungsi Rohingya, sebagian besar anak-anak dan perempuan, telah melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan tindakan keras terhadap komunitas minoritas Muslim, menurut Amnesty International.
Etnis Rohingya, digambarkan oleh PBB sebagai etnis yang paling teraniaya dan tertindas di dunia, Mereka telah menghadapi ketakutan tinggi akibat serangan pasukan Myanmar dan para ektrimis Buddha.
Sedikitnya 9.000 Rohingya dibantai di negara bagian Rakhine mulai 25 Agustus hingga 24 September, demikian menurut laporan Doctors Without Borders [MSF].
Dalam laporan yang diterbitkan pada 12 Desember lalu, organisasi kemanusiaan global itu mengatakan bahwa kematian 71,7 persen atau 6.700 Muslim Rohingya disebabkan oleh kekerasan. Diantara para korban jiwa itu, termasuk 730 anak di bawah usia 5 tahun.
Dilaporkan bahwa lebih dari 647.000 penduduk Rohingya terpaksa menyeberang dari Myanmar ke Bangladesh sejak 25 Agustus 2017 ketika Tentara Myanmar melancarkan tindakan brutal dan kejam terhadap Minoritas Muslim itu, sementara itu menurut angka PBB, jumlahnya adalah 656.000 jiwa.
Para pengungsi Rohingya tersebut melarikan diri dari operasi militer brutal Myanmar yang telah melihat pasukan militer dan massa ektrimis Budhdha membunuhi pria, wanita dan anak-anak, bahkan menjarah rumah-rumah dan membakar desa-desa Muslim Rohingya.[IZ]