XINJIANG, (Panjimas.com) — Expatriat Uighurs menyuarakan keprihatinan mendalamnya atas meningkatnya tekanan pada kerabat-kerabat dekat mereka di Daerah Otonomi Xinjiang China, China’s Xinjiang Autonomous Region yang saat ini berpenduduk lebih dari 10 juta warga Muslim Uighur.
Dalam kisah feature yang disampaikan media nasional Australia ABC, para warga Uighurs yang kini tinggal di luar negeri mengatakan mereka merasa takut karena keluarga-keluarga mereka tetap terdampar di “kamp pendidikan ulang politik” atau bisa disebut juga “kamp indoktrinasi politik” yang berkembang di China.
Almas Nizamidin, seorang pekerja konstruksi berusia 27 tahun yang memperoleh kewarganegaraan Australia pada tahun 2014 lalu setelah meninggalkan China pada tahun 2009, mengatakan kepada ABC bahwa istri dan ibunya saat ini berada di bawah tahanan di Cina Barat.
Nizamidin mengatakan ketika dia kembali ke negaranya untuk menemukan istrinya setelah laporan penahanan, kota yang dia tinggali tampak seperti di bawah “pendudukan.”
“Ada sejumlah tank di jalan-jalan, dan sebuah rumah tahanan polisi setiap 100 meter di mana petugas polisi memindai kartu identitas penduduk dan jejak isi telepon mereka,” pungkasnya.
Penahanan Meningkat
Abdul-Salam Alim, seorang pria dan guru Uighur berusia 45 tahun di Garden College di Adelaide, mengatakan bahwa istrinya memiliki lima saudara kandung yang tinggal di kota Xinjiang, Hotan, dikutip dari laporan ABC.
Salam Alim mengatakan setiap orang dewasa dari lima keluarga kecuali satu, telah ditahan atau dipenjara, “dan ini menyisakan 21 anak dalam perawatan satu-satunya perempuan yang bebas di seluruh keluarga.”
“Di rumah, saya tidak mengizinkan pembicaraan ini terbuka di rumah, saya hanya mencoba mengubah topik pembicaraan. Karena saya tahu jika saya berbicara, seseorang akan mulai [semakin emosional],” imbuhnya.
Menurut ABC, Australia adalah rumah bagi sejumlah besar komunitas Uighur dari sekitar 600 keluarga, dengan populasi lebih dari 3.000 warga Uighur yang kebanyakan tinggal di kota Adelaide, Australia Selatan.
Kamp indoktrinasi politik pemerintah Cina menargetkan ajaran Islam dan budaya warga Uighur.
Pernyataan World Uyghur Congress (WUC) tersebut juga menyebutkan bahwa pemerintah China telah menolak untuk mempublikasikan kematian-kematian warga Uighur di kamp indoktrinasi politik dan propaganda itu.
Banyak pihak yang merujuk pada Daerah Otonomi Uighur Xinjiang China ( China’s Xinjiang Uyghur Autonomous Region) – tempat bagi banyak kelompok etnis minoritas, termasuk warga Turkic Uighur – sebagai orang Turkistan Timur.
Pemerintah China mengklaim bahwa etnis Uighur termasuk di antara sejumlah suku Turki yang mendiami wilayah tersebut, dan menganggapnya sebagai bagian dari Asia Tengah, bukan China.
Uighur, sebuah kelompok Turki yang membentuk sekitar 45 persen dari populasi Xinjiang, telah menuduh Cina melakukan kebijakan represif yang menahan aktivitas keagamaan, komersial dan budaya mereka.
Label Terorisme Palsu Bagi Etnis Uighur
Beijing menuduh bahwa pejuang Muslim Uighur mirip seperti Gerakan Islam Turkistan yang berada di balik serangan di Xinjiang, yangdiklaim pihak Beijing telah menimbulkan gelombang kerusuhan yang mematikan.
Namun para pakar dari luar negeri meragukan kekuatan kelompok itu dan hubungan mereka dengan terorisme global, dengan beberapa pakar mengatakan bahwa pemerintah Cina melebih-lebihkan ancaman untuk melakukan pembenaran atas langkah-langkah keamanan ketat mereka di wilayah yang kaya akan sumber daya alam itu.
Kelompok-kelompok HAM mengatakan bahwa tindakan keras pemerintah Beijing malah menjadi pemicu kekerasan.
Beijing menganggap kecaman dari pemerintah-pemerintah asing terhadap serangan di Xinjiang tidak berdasar, dan malah balik menuding Negara-negara Barat menerapkan “standar ganda”.
“Memerangi Gerakan Islam Turkistan Timur, Eastern Turkistan Islamic Movement (ETIM), kelompok teror yang ada dalam daftar PBB, dan kelompok teroris lainnya merupakan komponen penting dari perjuangan melawan terorisme internasional,” tegas Menlu China, Wang Yi, akhir tahun 2016 lalu saat mengomentari penembakan mati 28 Muslim Uighur.
Cina cenderung untuk melabeli “teroris” untuk semua serangan yang melibatkan Muslim Uighur, walaupun faktanya pemerintah Xinjiang masih sering menindas Muslim Uighur.
Beijing telah menuduh mereka sebagai dalang atas semua serangan teror di kawasan publik Cina. Seperti diberitakan oleh panjimas.com sebelumnya, para pakar keamanan dari luar negeri meragukan kekuatan kelompok Uighur dan hubungan mereka dengan terorisme global, dengan beberapa pakar mengatakan bahwa pemerintah Cina melebih-lebihkan ancaman untuk melakuka pembenaran atas langkah-langkah keamanan ketat mereka di wilaya yang kaya akan sumber daya alam itu.
Beijing terus berusaha menghubung-hubungkan Uighur dengan kelompok Taliban dan ISIS. Undang-Undang Keamanan Nasional China yang diadopsi pada bulan Juli mengharuskan semua kunci infrastruktur jaringan dan sistem informasi agar “aman dan terkendali”.
Mengutip Reuters, UU anti-terorisme juga memungkinkan Tentara Pembebasan Rakyat (People’s Liberation Army) untuk terlibat dalam operasi anti-terorisme di luar negeri, meskipun para ahli mengatakan China akan menghadapi masalah-masalah praktis dan diplomatik besar jika ingin melakukan hal ini.
Weixing, Kepala Divisi Kontra-Terorisme Departemen Keamanan Publik, pernah berujar China menghadapi ancaman serius dari teroris, terutama pasukan ”Turkestan Timur”, istilah umum China untuk para Islamis itu, yang diklaim pihak Beijing beroperasi di wilayah Xinjiang.
Kelompok-kelompok HAM, meskipun, meragukan keberadaan kelompok militan kohesif di Xinjiang, dan mengatakan bahwa kerusuhan sebagian besar berasal dari kemarahan di kalangan orang-orang Muslim Uighur di wilayah ini lebih dikarenakan pembatasan agama dan budaya mereka.
Undang-undang baru ini juga membatasi hak media untuk melaporkan rincian serangan teror, termasuk ketentuan bahwa media cetak, elektronik, media online dan media sosial tidak dapat melaporkan rincian kegiatan terror yang mungkin menyebabkan imitasi, atau menunjukkan adegan yang “kejam dan tidak manusiawi.[IZ]