JENEWA, (Panjimas.com) — Pelapor khusus PBB untuk situasi hak asasi manusia di Myanmar Yanghee Lee dilaporkan mengunjungi kamp-kamp pengungsian Rohingya di ibukota Bangladesh Dhaka dan Cox Bazar pada 29 Juni-8 Juli ini.
“[Yanghee] Lee menyesalkan bahwa Pemerintah Myanmar terus menolak aksesnya meskipun ada seruan dari Dewan Hak Asasi Manusia PBB kepada Myanmar untuk bekerja sama dengan mandatnya,” jelas PBB dalam pernyataan, Kamis (28/06), dikutip dari Anadolu.
“Dia [Yanghee Lee] bertekad untuk menjangkau sebanyak mungkin bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia di Myanmar yang berada di tempat lain dan lokasi lain untuk belajar lebih banyak tentang pengalaman mereka untuk memahami situasi hak asasi manusia di Myanmar,” demikian pernyataan PBB.
Setelah kunjungannya ke Bangladesh, dia akan mengeluarkan pernyataan dan membagikan temuannya ketika dia akan menyajikan laporan ke sesi ke-73 Majelis Umum PBB pada Oktober 2018 mendatang.
Pidato Lee di Majelis Umum PBB 2017
Saat berbicara dalam Sidang Majelis Umum PBB di New York, Yanghee Lee mempresentasikan laporannya tentang situasi hak asasi manusia di Myanmar.
Lee menunjukkan meluasnya penggunaan ujaran serta provokasi kebencian terhadap komunitas Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine bagian Barat, Ia menekankan bahwa hal itu berarti hasutan permusuhan dan bahkan tindak kekerasan.
“Ini telah dibudidayakan selama beberapa dekade di benak rakyat Myanmar bahwa Rohingya tidak menjadi penduduk asli negara tersebut dan oleh karena itu [Rohingya] tidak memiliki hak apapun yang dapat mereka klaim,” jelas Lee, seperti dilansir Anadolu Ajensi.
Dia juga mendesak akses penuh untuk Tim Misi Pencari Fakta [TPF] Hak Asasi Manusia di negara bagian Rakhine.
Lee juga menyebutkan laporan tentang insiden intoleransi agama terhadap para pemeluk Kristen dan Muslim di Myanmar.
Ia juga meminta pemerintah Myanmar “untuk secara terbuka merangkul semua masyarakat” dan juga “untuk membatalkan semua undang-undang yang diskriminatif”, untuk menunjukkan bahwa semua kelompok di Myanmar memiliki hak-hak yang sama .
“Menurut saya, legislasi nasional secara efektif menghasilkan kriminalisasi ekspresi secara sah,” ujar Pakar HAM PBB itu.
Krisis Rohingya
Sejak 25 Agustus 2017, lebih dari 750.000 pengungsi Rohingya, sebagian besar anak-anak dan perempuan, telah melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan tindakan keras terhadap komunitas minoritas Muslim, menurut Amnesty International.
Etnis Rohingya, digambarkan oleh PBB sebagai etnis yang paling teraniaya dan tertindas di dunia, Mereka telah menghadapi ketakutan tinggi akibat serangan pasukan Myanmar dan para ektrimis Buddha.
Sedikitnya 9.000 Rohingya dibantai di negara bagian Rakhine mulai 25 Agustus hingga 24 September, demikian menurut laporan Doctors Without Borders [MSF].
Dalam laporan yang diterbitkan pada 12 Desember lalu, organisasi kemanusiaan global itu mengatakan bahwa kematian 71,7 persen atau 6.700 Muslim Rohingya disebabkan oleh kekerasan. Diantara para korban jiwa itu, termasuk 730 anak di bawah usia 5 tahun.
Dilaporkan bahwa lebih dari 647.000 penduduk Rohingya terpaksa menyeberang dari Myanmar ke Bangladesh sejak 25 Agustus 2017 ketika Tentara Myanmar melancarkan tindakan brutal dan kejam terhadap Minoritas Muslim itu, sementara itu menurut angka PBB, jumlahnya adalah 656.000 jiwa.
Para pengungsi Rohingya tersebut melarikan diri dari operasi militer brutal Myanmar yang telah melihat pasukan militer dan massa ektrimis Budhdha membunuhi pria, wanita dan anak-anak, bahkan menjarah rumah-rumah dan membakar desa-desa Muslim Rohingya.[IZ]