LONDON, (Panjimas.com) — Amnesty International (AI) mendesak Dewan Keamanan PBB untuk menyeret Myanmar ke Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) atas kejahatannya terhadap kemanusiaan di bawah Statuta Roma.
Dalam laporan yang diterbitkan Amnesty International pada hari Rabu (27/06), lembaga pengawas hak asasi manusia yang berbasis di London itu memeriksa “kekejaman militer, yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan di bawah hukum internasional”.
Laporan 186 halaman yang berjudul “Myanmar: We will Destroy Everything: Military Responsibility for crimes against humanity in Rakhine State” [“Myanmar : Kami Akan Hancurkan Semuanya: Tanggung Jawab Militer atas Kejahatan terhadap Kemanusiaan di Negara Bagian Rakhine”] menyebutkan 13 nama yang terkait erat dengan Militer Myanmar. Amnesty International telah mengumpulkan bukti-bukti yang luas dan kredibel tentang tanggung jawab langsung atau komando atas kejahatan terhadap kemanusiaan di Rakhine oleh petinggi militer Myanmar.
Andrew Gardner, peneliti senior Amnesty International di Turki, menilai reaksi masyarakat internasional belum memadai, sejauh ini.
“Kejahatan-kejahatan ini harus dibawa ke Pengadilan Kriminal Internasional dan penyelidikan yang komprehensif harus diluncurkan,” pungkasnya.
Menurut Amnesty International, komando tingkat tertinggi militer Myanmar, termasuk Jenderal Min Aung Hlaing, Panglima Militer, telah memainkan peran kunci dalam kejahatan terhadap kemanusiaan di Rakhine.
Sejak 25 Agustus 2017, Amnesty International mengatakan, 9 dari 11 kejahatan terhadap kemanusiaan yang tercantum dalam Statuta Roma dari Pengadilan Pidana Internasional telah dilakukan di Myanmar.
Kejahatan-kejahatan ini termasuk diantaranya “pembunuhan, penyiksaan, deportasi atau pemindahan paksa, perkosaan dan kekerasan seksual lainnya, penganiayaan, penghilangan paksa, dan tindakan tidak manusiawi lainnya, seperti kelaparan yang dipaksakan”.
Untuk mempersiapkan laporan 186 halaman ini, pihak Amnesty International melakukan lebih dari 400 wawancara antara bulan September 2017 hingga Juni 2018, dengan para korban yang berhasil selamat dan para saksi langsung atas kejahatan terstruktur dan sistematis itu.
Amnesty International berbicara kepada orang-orang “dari komunitas etnis dan agama yang berbeda dari Negara Bagian Rakhine Utara, termasuk Rohingya, kelompok yang didominasi Muslim; etnis Rakhine, Mro, Khami, dan Thet, semua kelompok yang sebagian besar beragama Buddha, dan Hindu”.
Laporan ini juga “mengacu pada analisis ekstensif terhadap citra foto dan data-data satelit; pemeriksaan medis forensik foto-foto korban terluka; materi foto-foto dan video-video yang diautentikasi oleh Rohingya di Negara Bagian Rakhine Utara; dokumen-dokumen rahasia, terutama pada struktur komando militer Myanmar; dan investigasi dan analisis sumber terbuka, termasuk unggahan Facebook yang terkait dengan Militer Myanmar”.
Krisis Rohingya
Sejak 25 Agustus 2017, lebih dari 750.000 pengungsi Rohingya, sebagian besar anak-anak dan perempuan, telah melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan tindakan keras terhadap komunitas minoritas Muslim, menurut Amnesty International.
Etnis Rohingya, digambarkan oleh PBB sebagai etnis yang paling teraniaya dan tertindas di dunia, Mereka telah menghadapi ketakutan tinggi akibat serangan pasukan Myanmar dan para ektrimis Buddha.
Sedikitnya 9.000 Rohingya dibantai di negara bagian Rakhine mulai 25 Agustus hingga 24 September, demikian menurut laporan Doctors Without Borders [MSF].
Dalam laporan yang diterbitkan pada 12 Desember lalu, organisasi kemanusiaan global itu mengatakan bahwa kematian 71,7 persen atau 6.700 Muslim Rohingya disebabkan oleh kekerasan. Diantara para korban jiwa itu, termasuk 730 anak di bawah usia 5 tahun.
Dilaporkan bahwa lebih dari 647.000 penduduk Rohingya terpaksa menyeberang dari Myanmar ke Bangladesh sejak 25 Agustus 2017 ketika Tentara Myanmar melancarkan tindakan brutal dan kejam terhadap Minoritas Muslim itu, sementara itu menurut angka PBB, jumlahnya adalah 656.000 jiwa.
Para pengungsi Rohingya tersebut melarikan diri dari operasi militer brutal Myanmar yang telah melihat pasukan militer dan massa ektrimis Budhdha membunuhi pria, wanita dan anak-anak, bahkan menjarah rumah-rumah dan membakar desa-desa Muslim Rohingya.[IZ]