WASHINGTON (Panjimas.com) — Mahkamah Agung Amerika Serikat (AS) mendukung kebijakan penuh kontroversi Presiden Donald Trump yang menuai protes keras negara-negara Muslim.
Kebijakan larangan perjalanan Trump ini dinilai merupakan sesuuatu yang sangat “mengecewakan” dan “mengkhawatirkan” oleh berbagai kelompok advokasi.
Dalam Putusan 5-4 yang diterbitkan Selasa (26/6) lalu, Mahkamah Agung AS menetapkan bahwa tindakan Trump dinilai “tepat dalam lingkup otoritas presiden” di bawah Undang-Undang Imigrasi AS. Pengadilan tertinggi AS itu menolak menganggap bahwa kebijakan Trump itu mendiskriminasi umat Islam atau bakan melampaui otoritasnya, dikutip dari Aljazeera News Channel.
Kebijakan Trump yang melarang masuk sebagian besar muslim ke AS yang diputuskannya bulan September tahun 2017 lalu menuai kritikan tajam dari kelompok-kelompok hak asasi manusia dan advokasi.
Buntutnya, “Travel Ban” ini juga mempengaruhi dua negara mayoritas non-Muslim, misalnya pelarangan wisatawan Korea Utara serta beberapa pejabat pemerintah Venezuela dan keluarga mereka memasuki AS.
Sementara itu Chad telah dikeluarkan dari daftar travel ban pada bulan April setelah memperbaiki “praktik manajemen identitas dan penyebaran informasinya,” pungkas Trump dalam pernyataannya.
Hakim Agung AS John Roberts menulis pernyataan mayoritas, dan bergabung dengan empat rekan konservatifnya.
Hakim Roberts menolak tuduhan ‘bias anti-Muslim, dan berhati-hati untuk tidak mendukung pernyataan provokatif Trump tentang imigrasi secara umum dan tentang umat Islam secara khusus.
“Kami tidak mengungkapkan pandangan menilai kebijakan travel ban tersebut,” papar John Roberts.
Usia putusan Mahkamah Agung, Donald Trump menegaskan hal ini sebagai “momen pembenaran” setelah “berbulan-bulan komentar dari media dan politikus Demokrat yang menolak melakukan apa yang diperlukan demi mengamankan perbatasan kami dan negara kami.”
Pengadilan Majelis Rendah (lower courts) sebelumnya telah memblokir undang-undang pelarangan tersebut, versi ketiga dari kebijakan Trump yang pertama kali dilakukan sejak menjabat pada bulan Januari 2017. Namun pada 4 Desember, pengadilan tinggi (high court) memperbolehkannya walaupun terdapat penentangan legal yang masih berlanjut.
Hakim Sonia Sotomayor menulis dalam keberatan yang didasarkan pada bukti dalam kasus “pengamat yang masuk akal akan menyimpulkan bahwa Proklamasi (travel ban) dimotivasi oleh animus anti-Muslim.”
Hakim Sotomayor menuturkan rekan-rekannya tiba-tiba menyatakan sikap berlawanan dengan “mengabaikan fakta-fakta, salah mengartikan preseden hukum kita, dan menutup mata terhadap rasa sakit serta penderitaan akibat Proklamasi (travel ban) yang menimpa keluarga dan individu yang tidak terhitung banyaknya, dengan kebanyakan dari mereka adalah warga Amerika Serikat.”
Sotomayor mengibaratkan kasus tersebut dengan hasil Korematsu vs AS yang mendukung penahanan warga Jepang-Amerika selama Perang Dunia II.
Para penantang travel ban, yang dipimpin oleh negara bagian Hawaii, menyatakan bahwa kebijakan itu dimotivasi oleh permusuhan Trump terhadap Muslim.
Mahkamah Agung Selasa (26/06) menyatakan bahwa para penantang gagal menunjukkan bahwa travel ban tersebut melanggar Undang-Undang Imigrasi AS ataupun Amandemen Pertama Konstitusi AS yang melarang pemerintah membela satu agama atas agama lainnya.
Sementara itu Gedung Putih mempertahankan penargetan individu dari negara-negara yang tidak memberikan informasi yang cukup untuk memungkinkan pemeriksaan yang tepat terhadap calon wisatawan. Trump mengatakan bahwa hal itu diperlukan dengan dalih keamanan nasional.
Saat versi pertama travel ban dikeluarkan tidak lama setelah Trump menjabat, protes keras terjadi di seluruh AS, dengan banyak orang berkumpul di bandara-bandara dan jalan-jalan memprotes langkah itu sebagai “tindakan yang inkonstitusional.”
Aktivis HAM AS mengatakan keputusan Mahkamah Agung AS sebagai “hari yang mengerikan bagi negara.”[IZ]