RAMALLAH, (Panjimas.com) — Saat menggelar pertemuan dengan Duke of Cambridge Pangeran William, Presiden Palestina Mahmoud Abbas menegaskan kembali komitmennya untuk mencapai kesepakatan perdamaian yang dinegosiasikan dengan Israel
“Saya menantikan pendirian negara Palestina di tanah yang diduduki pada tahun 1967, hidup berdampingan dengan Israel dalam keamanan dan stabilitas,” pungkas Abbas dalam pertemuannya dengan Pangeran William, pewaris kedua dalam garis tahta Kerajaan Inggris, di kota Ramallah, Tepi Barat, Rabu (27/06), seperti dilansir dari Anadolu Ajansi.
“Posisi kami tidak berubah untuk waktu yang lama. Kami ingin perdamaian di seluruh negosiasi,” ujar Mahmoud Abbas.
Abbas menyuarakan harapannya bahwa kunjungan Pangeran William akan memperkuat hubungan antara rakyat Palestina dan Inggris.
“Kami berharap ini bukan kunjungan terakhir Anda, dan kami harap Anda mengunjungi kami lagi ketika rakyat Palestina mendapatkan kemerdekaan mereka,” ungkapnya kepada Pangeran William, yang tiba di Ramallah usai kunjungannya ke Yerusalem, Rabu pagi (27/06).
Pangeran William mengatakan dirinya senang mengunjungi Palestina dan belajar tentang budaya rakyat Palestina.
“Palestina dan Inggris memiliki hubungan yang kuat, dan kami memiliki kisah sukses di bidang pendidikan dan kesehatan, dan berharap untuk melanjutkan hubungan ini,” pungkasnya.
Selama kunjungannya ke Ramallah, Pangeran William akan menghadiri acara budaya yang akan mencakup tarian tradisional Palestina Dabkeh dan menonton pertandingan sepak bola. Dia juga dijadwalkan mengunjungi kamp pengungsi Jalazoun di Utara Ramallah.
Pangeran William adalah perwakilan pertama dari keluarga Kerajaan Inggris yang mengunjungi Israel dan wilayah Palestina.
Dia memulai kunjungan ke wilayah itu setelah mengunjungi Yordania dan Israel untuk melakukan pembicaraan dengan para pejabat di kedua negara.
Sikap Inggris Atas Yerusalem
Mengenai isu Yerusalem, Inggris bersikap bertolak belakang dengan sekutunya Amerika Serikat. Berbeda dengan AS, Inggris mengakui kota suci tiga agama tersebut sebagai milik Palestina.
Sikap mengenai Jerusalem ini dikemukakan Duta Besar Inggris untuk Israel David Quarrey. Ia menyebutnya saat tengah menyampaikan rencana kunjungan Pangeran William ke Israel dan Tepi Barat.
“Semua terminologi yang digunakan dalam program ini konsisten dengan sikap pemerintah Inggris selama bertahun-tahun. Ini juga konsisten dengan kebijakan pemerintah Inggris,” jelas Quarrey dalam konferensi pers di kediamannya di Ramat Gan, dilansir dari Times of Israel.
Berdasarkan jadwal kunjungan resmi, Pangeran William akan melakukan perjalanan pertama ke Yordania pada 24 Juni. Dari Yordania, perjalanan Duke of Cambridge itu dilanjutkan ke Israel dan Tepi Barat pada 25-27 Juni.
Selama di Israel, Pangeran William akan mengunjungi Yad Vashem Holocaust Memorial Museum serta bertemu dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Presiden Reuven Rivlin. Kemudian, di Tepi Barat, ia akan bertemu dengan Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas.
Dalam jadwal resmi yang diterbitkan pekan lalu, menunjukkan Inggris masih menganggap Kota Tua Yerusalem sebagai wilayah Palestina yang diduduki Israel.
“Pada 27 Juni, kunjungan akan diteruskan ke wilayah pendudukan Palestina dan pada 28 Juni Pangeran William akan menerima penjelasan singkat tentang sejarah dan geografi dari Kota Tua Jerusalem dari di Bukit Zaitun,” demikian menurut jadwal resmi.
Pangeran William sendiri tidak akan membahas Deklarasi Balfour dalam kunjungan itu. Sebagiamana diketahui, deklarasi ini, tepat diproklamirkan seabad lalu pemerintah Inggris yang menyatakan dukungan terhadap pembentukan negara Israel di wilayah Palestina.
Quarrey menegaskan, kunjungan pria yang berada di urutan kedua garis tahta Kerajaan Inggris itu tidak berkaitan dengan politik sebagaimana perjalanannya ke negara lain. Justru, Pangeran William sangat menantikan kunjungannya ke Israel.
“Duke bukan sosok politik. Dia akan berada di sini untuk melihat wilayah ini dan bertemu dengan beberapa orang di sini. Juga untuk melihat apa yang terjadi di sini, beberapa keberhasilan luar biasa dalam teknologi, beberapa budaya hebat di sini,” papar Quarrey.
“Ini adalah kunjungan resmi pertama yang dilakukan anggota senior keluarga kerajaan. Saya pikir kunjungan ini akan sukses besar. Saya berharap kunjungan ini akan menjadi perayaan kemitraan antara Inggris dan Israel,” tandas Quarrey.
Pangeran William sebetulnya juga dijadwalkan menyampaikan pidato di resepsi yang diselenggarakan Konsul Amerika di Yerusalem. Namun, protokol mencegahnya membuat pernyataan yang mungkin dianggap partisan.
Sikap Inggris yang mengakui Jerusalem sebagai daerah Palestina menuai kemarahan barisan politisi sayap kanan Israel.
Pengakuan Palestina dan Partai Buruh
Pemimpin Partai Buruh di Inggris, Jeremy Corbyn, mengatakan pihaknya dengan cepat akan segera “mengakui Palestina sebagai sebuah negara berdaulat”, jika pihak oposisi itu berhasil memenangkan pemilu.
Corbyn mengatakan, pihaknya akan mengambil langkah-langkah menuju “solusi dua negara yang asli”, sebagai penyelesaian konflik Israel dan Palestina.
pernyataan itu disampaikan oleh Corbyn saat berbicara di tengah kunjungannya ke Yordania, yang merupakan perjalanan internasional pertamanya di luar Eropa sejak terpilih sebagai pemimpin Partai Buruh pada 2015, dilansir dari The Independent, Ahad (24/06)
Corbyn juga melakukan kunjungan ke sebuah kamp penampungan orang Palestina, yang telah berdiri selama puluh tahun sejak Perang Arab-Israel.
“Saya pikir harus ada pengakuan hak-hak rakyat Palestina terhadap negara mereka sendiri, yang kami sebagai Partai Buruh katakan, akan mengakui sebagai negara berdaulat penuh pada Perserikatan Bangsa-Bangsa,” pungkas Corbyn.
Corbyn diketahui pernah berkali-kali menyerukan kepada pemerintah Inggris untuk secara sepihak, mengakui negara Palestina di Tepi Barat, Gaza dan Yerusalem Timur, yang diduduki Israel sejak 1967.
Pada bulan April, ia memprotes keras “diam membisunya” Barat atas pembunuhan para pengunjuk rasa Palestina di perbatasan Gaza.
Corbyn juga mendesak Inggris untuk mempertimbangkan penghentian penjualan senjata ke Israel, karena dituding “digunakan untuk melanggar hukum internasional”.
“Harus ada proses perdamaian, dan harus ada hak rakyat Palestina untuk hidup dalam damai, serta hak Israel,” tandasnya.[IZ]