HAGUE, (Panjimas.com) — Pengadilan Kriminal Internasional, International Criminal Court (ICC) memberikan Myanmar tenggat waktu hingga 27 Juli untuk menyerahkan pengamatan tertulisnya atas dugaan deportasi lebih dari 700.000 Muslim Rohingya ke Bangladesh.
“Menimbang bahwa kejahatan deportasi diduga telah dimulai di wilayah Myanmar, majelis hakim menganggap pantas untuk mencari pengamatan dari pihak berwenang Myanmar yang kompeten atas permintaan jaksa,” jelas Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) dalam keputusan yang diterbitkan Kamis (21/06), dilansir dari Anadolu Ajansi.
Keputusan ICC itu diterbitkan setelah sidang dengar pendapat tertutup tentang isu Rohingya di kantor Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) di The Hague, Belanda.
Majelis hakim pengadilan meminta Myanmar untuk “menyerahkan pengamatan tertulis, baik secara publik atau rahasia”, tentang “kemungkinan pelaksanaan yurisdiksi teritorial atas dugaan deportasi anggota etnis Rohingya dari Myanmar ke Bangladesh.”
ICC juga meminta Myanmar untuk mengirimkan laporan pengamatan tentang “keadaan di sekitar perbatasan lokasi penyeberangan oleh anggota orang-orang Rohingya dari Myanmar ke Bangladesh,” menurut pernyataan ICC itu.
Oleh karena Myanmar bukanlah anggota ICC, pengadilan kejahatan perang permanen pertama di dunia ini tidak memiliki yurisdiksi secara otomatis di negara tersebut.
Namun, jaksa penuntut umum mendesak pengadilan untuk menyelidiki dugaan kejahatan deportasi Rohingya dan kemungkinan penuntutan melalui Bangladesh, yang kini menampung sekitar satu juta pengungsi Rohingya.
Krisis Rohingya
Sejak 25 Agustus 2017, lebih dari 750.000 pengungsi Rohingya, sebagian besar anak-anak dan perempuan, telah melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan tindakan keras terhadap komunitas minoritas Muslim, menurut Amnesty International.
Etnis Rohingya, digambarkan oleh PBB sebagai etnis yang paling teraniaya dan tertindas di dunia, Mereka telah menghadapi ketakutan tinggi akibat serangan pasukan Myanmar dan para ektrimis Buddha.
Sedikitnya 9.000 Rohingya dibantai di negara bagian Rakhine mulai 25 Agustus hingga 24 September, demikian menurut laporan Doctors Without Borders [MSF].
Dalam laporan yang diterbitkan pada 12 Desember lalu, organisasi kemanusiaan global itu mengatakan bahwa kematian 71,7 persen atau 6.700 Muslim Rohingya disebabkan oleh kekerasan. Diantara para korban jiwa itu, termasuk 730 anak di bawah usia 5 tahun.
Dilaporkan bahwa lebih dari 647.000 penduduk Rohingya terpaksa menyeberang dari Myanmar ke Bangladesh sejak 25 Agustus 2017 ketika Tentara Myanmar melancarkan tindakan brutal dan kejam terhadap Minoritas Muslim itu, sementara itu menurut angka PBB, jumlahnya adalah 656.000 jiwa.
Para pengungsi Rohingya tersebut melarikan diri dari operasi militer brutal Myanmar yang telah melihat pasukan militer dan massa ektrimis Budhdha membunuhi pria, wanita dan anak-anak, bahkan menjarah rumah-rumah dan membakar desa-desa Muslim Rohingya.[IZ]