LONDON, (Panjimas.com) — Organisasi-organisasi Rohingya di seluruh dunia baru-baru ini mengkritik keras perjanjian baru yang ditandatangani oleh Myanmar dan PBB mengenai kebijakan pemulangan pengungsi Rohingya, Ahad (10/06). Perkumpulan Organisasi Rohingya pun menegaskan bahwa perjanjian itu tidak menyentuh akar penyebab krisis.
“Kami sangat prihatin bahwa MOU [Memorandum of Understanding] tersebut tidak mengatasi akar penyebab krisis Rohingya, khususnya masalah kewarganegaraan dan identitas etnis Rohingya,” tulis pernyataan bersama yang ditandatangani oleh 23 organisasi Rohingya, termasuk Dewan Rohingya Eropa (the European Rohingya Council-ERC) dan Arakan Rohingya National Organization (ARNO), dilansir dari Anadolu Ajansi.
Pada tanggal 6 Juni, pemerintah Myanmar menandatangani perjanjian dengan Program Pembangunan PBB (the UN Development Programme-UNDP) dan Badan Pengungsi PBB (the UN Refugee Agency-UNHCR), yang memungkinkan mereka untuk terlibat dalam proses repatriasi yang tertunda.
Pernyataan bersama 23 organisasi Rohingya itu juga menyuarakan keprihatinan mereka karena tidak dilibatkannya perwakilan pengungsi dalam penandatanganan perjanjian, padahal Muslim Rohingya memiliki hak untuk mengetahui tentang kebijakan pemulangan kembali mereka ke Myanmar.
“Teks-teks MOU belum dibuat terbuka untuk publik sehingga komunitas internasional meraba dalam gelap dan menimbulkan pertanyaan,” imbuhnya.
“Semua catatan sebelumnya menunjukkan bahwa badan-badan PBB, termasuk UNHCR sebagai agen dari kepentingan masyarakat internasional, tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai kepada para pengungsi Rohingya karena pemerintah Myanmar tak tergoyahkan,” paparnya.
“Pemulangan adalah pertanyaan hidup dan mati bagi seluruh warga Muslim Rohingya,” tandasnya.
“Rohingya tidak mau kembali ke Myanmar karena pihak berwenang, yang “terlibat dalam genosida, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan,” tidak mengubah sikapnya terhadap mereka”, tegasnya.
“Mereka tidak bisa mempercayai pemerintah Myanmar dan militer yang telah membunuh, memperkosa, menyiksa dan membuat mereka kelaparan dengan ratusan desa mereka diratakan, tanah mereka diambil dan rumah-rumah penduduk dihancurkan.”
Pernyataan ini juga mendesak perlindungan internasional dari negara dan aktor regional serta pasukan penjaga perdamaian PBB.
“Terakhir, harus ada akuntabilitas dan pelaku kejahatan harus dibawa ke pengadilan dan diajukan ke Mahkamah Kriminal Internasional (International Criminal Court-ICC),” pungkasnya.
Sejak 25 Agustus 2017, lebih dari 750.000 pengungsi Rohingya, sebagian besar anak-anak dan perempuan, telah melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan tindakan keras terhadap komunitas minoritas Muslim, menurut Amnesty International.
Etnis Rohingya, digambarkan oleh PBB sebagai etnis yang paling teraniaya dan tertindas di dunia, Mereka telah menghadapi ketakutan tinggi akibat serangan pasukan Myanmar dan para ektrimis Buddha.
Sedikitnya 9.000 Rohingya dibantai di negara bagian Rakhine mulai 25 Agustus hingga 24 September, demikian menurut laporan Doctors Without Borders [MSF].
Dalam laporan yang diterbitkan pada 12 Desember lalu, organisasi kemanusiaan global itu mengatakan bahwa kematian 71,7 persen atau 6.700 Muslim Rohingya disebabkan oleh kekerasan. Diantara para korban jiwa itu, termasuk 730 anak di bawah usia 5 tahun.
Dilaporkan bahwa lebih dari 647.000 penduduk Rohingya terpaksa menyeberang dari Myanmar ke Bangladesh sejak 25 Agustus 2017 ketika Tentara Myanmar melancarkan tindakan brutal dan kejam terhadap Minoritas Muslim itu, sementara itu menurut angka PBB, jumlahnya adalah 656.000 jiwa.
Para pengungsi Rohingya tersebut melarikan diri dari operasi militer brutal Myanmar yang telah melihat pasukan militer dan massa ektrimis Budhdha membunuhi pria, wanita dan anak-anak, bahkan menjarah rumah-rumah dan membakar desa-desa Muslim Rohingya.[IZ]