NEW YORK, (Panjimas.com) — Turki dan Aljazair menyerukan sidang darurat Majelis Umum PBB, UN General Assembly (UNGA) untuk membahas dan memberikan suara pada rancangan resolusi tentang perlindungan rakyat Palestina.
Sesi darurat UNGA ini diminta oleh Turki selaku Presiden Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dan Aljazair atas nama Uni-Arab, menurut pernyataan bersama kedua pihak, Jumat (08/06), dikutip dari AA.
Pernyataan itu dikeluarkan setelah pertemuan antara Presiden UNGA Miroslav Lajcak dengan Utusan Turki untuk PBB Feridun Sinirlioglu, bersama dengan perwakilan tetap Aljazair, Bangladesh, Senegal, Mesir dan Palestina di PBB.
Tanggal untuk pertemuan darurat akan diumumkan dalam beberapa hari mendatang. Diperkirakan akan dilakukan pekan depan, menurut sumber diplomatik, dilansir dari Anadolu.
Utusan Palestina untuk PBB, Riyad Mansour mengatakan teks rancangan resolusi ini akan mirip dengan rancangan resolusi sebelumnya yang diajukan oleh Kuwait pada 18 Mei lalu ke Dewan Keamanan PBB, akan tetapi resolusi tersebut diveto oleh AS pada 2 Juni lalu.
Draft resolusi yang diusulkan ke Dewan Keamanan PBB berisi pengutukan atas kekerasan Israel dan menyerukan “perlindungan rakyat Palestina” di Jalur Gaza dan Tepi Barat.
Sepuluh negara, termasuk Cina, Perancis dan Rusia, memberikan suara mendukung, sementara Inggris, Polandia, Belanda dan Ethiopia memilih abstain.
Selanjutnya, Dewan Keamanan PBB menolak usulan AS yang menyerukan penghukuman terhadap Hamas atas kekerasan di Jalur Gaza.
Resolusi AS ini ditentang oleh Rusia, Kuwait dan Bolivia sementara 11 negara memilih abstain dari pemungutan suara.
Resolusi itu menyerukan kecaman dalam hal yang paling kuat dari serangan roket 29 Mei dari Gaza terhadap Israel yang merusak infrastruktur sipilnya.
Bulan Desember lalu, PBB secara besar-besaran mengadopsi resolusi atas Yerusalem, menyerukan Amerika Serikat untuk menarik pengakuannya atas kota itu sebagai ibu kota Israel, dengan 128 suara mendukung resolusi itu.
Sebanyak 128 anggota memilih mendukung resolusi tersebut, 9 negara menolak dan 35 lainnya abstain.
Status Yerusalem telah lama dianggap sebagai isu terakhir yang harus ditentukan dalam perundingan damai Israel-Palestina dan keputusan Trump secara luas dipandang sebagai penghalang kesepahaman sejak lama.
Rancangan resolusi PBB tersebut menegaskan bahwa isu Yerusalem adalah status akhir yang harus diselesaikan melalui perundingan langsung antara Palestina dan Israel, sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan yang relevan.
Wilayah Yerusalem Timur berada dalam pendudukan Israel sejak 1967, sementara rakyat Palestina terus berjuang untuk mendeklarasikan Yerusalem sebagai ibukota negaranya.[IZ]